PEMERINTAH sedang menyiapkan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum revisi UU Pemilu, Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada), dan RUU Politik. Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengatakan pemerintah akan menggunakan metode kodifikasi untuk menggabungkan ketiga RUU tersebut.
Pendekatan ini berbeda dari rencana sebelumnya, yaitu menggunakan undang-undang sapu jagat atau omnibus law. Bima menuturkan kodifikasi ini akan menyatukan ketiga undang-undang tersebut ke dalam satu kerangka hukum terpadu yang sistematis, berbasis pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
“Kita akan membuat undang-undang baru yang menyatukan berbagai aturan, dengan fokus sistematis pada isu-isu seperti keserentakan pemilu, sistem kepartaian, pendanaan politik, dan integrasi bangsa,” kata Wamendagri dalam diskusi yang digelar Forum Populi di Jakarta pada Rabu, 11 Juni 2025.
UU Pemilu dan UU Pilkada Perlu Digabung agar Sederhana
Dalam diskusi itu, peneliti politik dari Populi Centre, Usep Saiful Ahyar, menilai UU Pemilu dan UU Pilkada harus digabung agar kedua aturan dapat disusun secara logis dan membuatnya mudah dikuasai.
Usep menuturkan metode tersebut merupakan kodifikasi undang-undang agar menyamakan peraturan teknis yang berhimpit antara nomenklatur UU Pemilu dan UU Pilkada yang memiliki makna dan kelembagaan hampir sama.
“Pada akhirnya akan memudahkan dalam pengaturan dan pelembagaan pemilu,” kata Usep, seperti dikutip dari Antara.
Dia menjelaskan KPU semula diatur dalam UU Pemilu dan Bawaslu diatur dengan UU Penyelenggara Pemilu. Namun kini pengaturan keduanya sudah digabung dengan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
Dengan begitu, kata dia, kini hanya tersisa UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Pilkada) yang tidak dimasukkan dalam UU Pemilu, padahal penyelenggaranya juga KPU.
“Dengan demikian, jika dilakukan revisi UU Pemilu, seharusnya kedua UU tersebut digabungkan menjadi satu UU Pemilu,” katanya.
Usep mengatakan metode omnibus law dengan kodifikasi adalah dua hal berbeda dalam lingkup tujuan dan perubahan. Menurut dia, kodifikasi bertujuan menyatukan materi hukum yang terkait dalam satu undang-undang. Sementara omnibus law bertujuan mengubah berbagai undang-undang sekaligus yang sering kali dalam satu UU saja.
Namun dia menilai metode omnibus law terkadang menimbulkan kekhawatiran tentang kemungkinan adanya perubahan yang terlalu luas dan tidak terukur, serta berpotensi mengabaikan aturan hukum yang sudah ada.
Di sisi lain, dia pun mengusulkan agar pelaksanaan pemilu nasional yang terdiri dari pemilihan DPR, DPD, dan Presiden-Wakil Presiden berjarak sekitar dua setengah tahun dengan pemilu lokal yang terdiri dari pemilihan DPRD dan kepala daerah.
Menurut dia, pemilu nasional dan pemilu lokal yang dilaksanakan berjarak diperlukan untuk kepentingan mekanisme kontrol dan evaluasi oleh konstituen. Jika anggota legislatif dan eksekutif hasil pemilu nasional tidak menepati janji dan kurang baik, bisa menjadi pertimbangan bagi rakyat memilih pada pemilu lokal.
DPR Berencana Bahas Terpisah Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada
Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Bob Hasan mengatakan RUU Pemilu dan RUU Pilkada rencananya dibahas secara terpisah.
Alasannya, belum ada keputusan kedua RUU itu akan disatukan atau menjadi Omnibus Law Politik. Sehingga, dua RUU tersebut akan dibahas terpisah. “Belum ada keputusan Omnibus Law Politik,” kata Bob di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 10 Juni 2025.
Politikus Partai Gerindra ini menyebutkan revisi UU Pemilu masuk ke dalam RUU prioritas yang akan dibahas oleh Baleg DPR pada 2025. Menurut dia, RUU Pemilu akan mulai disusun setelah penyusunan tiga RUU sebelumnya selesai.
Ketiga RUU yang kini penyusunannya sedang dirampungkan adalah RUU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, RUU Statistik, dan RUU Perkoperasian. “Ya, nanti kalau yang tiga ini sudah jadi usul inisiatif, kita satu-satu,” katanya.
Bob pun memastikan pembahasan revisi UU Pemilu nantinya tidak akan terlepas dari berbagai putusan MK yang sudah merevisi atau mengaudit UU Pemilu sebelumnya. Paling lambat, kata dia, revisi UU Pemilu harus rampung dalam dua tahun ke depan. “Itu kan putusan MK terkait pilpres, harus ada dua tahun setelah putusan MK ini,” kata dia.
Batas Waktu Pembuatan RUU Pemilu yang Ideal Tersisa Satu Tahun
Adapun Wakil Ketua Baleg DPR Ahmad Doli Kurnia menilai batas waktu pembahasan revisi UU Pemilu yang ideal hanya tersisa satu tahun lagi, sebelum tahapan Pemilu 2029 dimulai.
Legislator Partai Golkar ini menjelaskan, berdasarkan UU yang masih berlaku, pelaksanaan tahapan pemilu dimulai 20 bulan sebelum hari pencoblosan. Menurut Doli, satu tahun sebelum tahapan itu dimulai, harus dilaksanakan seleksi penyelenggara pemilu.
“Nah, kalau dihitung berdasarkan pengalaman 2024 kemarin, itu jatuhnya (seleksi penyelenggara) mulainya Agustus 2026. Jadi, artinya, Juli 2026 undang-undang ini (UU Pemilu) harus selesai,” kata Doli saat dihubungi di Jakarta, Selasa.
Dengan begitu, dia menilai waktu satu tahun atau satu setengah tahun ini adalah saat yang ideal segera membahas RUU Pemilu. Apalagi, pembahasan RUU tersebut memerlukan waktu panjang guna menyerap aspirasi dari berbagai pihak.
Nabiila Azzahra dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: BP Haji Ungkap Alasan Arab Saudi Beri Rapor Merah pada Indonesia