TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah berencana merevisi sejumlah ketentuan dalam Revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) untuk mengakomodasi seluruh guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Hal ini termasuk guru-guru di lembaga kelompok bermain dan penitipan anak agar mendapatkan status sebagai guru profesional.
Selama ini, kata Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti, para pendidik di kelompok bermain tidak masuk kategori guru formal. Hal itu disebabkan hanya guru taman kanak-kanak (TK) yang diakui dalam Undang-Undang Guru dan Dosen. Akibatnya, guru yang mengajar di kelompok bermain dan guru penitipan anak tak berhak atas tunjangan profesi seperti rekan sejawatnya di TK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Nanti kami dorong supaya kata PAUD itu masuk dalam batang tubuh atau dalam penjelasan bahwa yang masuk dalam PAUD itu adalah TK dan kelompok bermain,” Abdul Mu’ti saat berkunjung di kantor Tempo, Kamis, 5 Juni 2025. Dia juga mengupayakan agar status guru kelompok bermain dan penitipan anak itu bisa diakui sebagai guru profesional.
Menurut Mu’ti, langkah ini akan memberikan kejelasan hukum dan perlindungan sosial bagi lebih dari 288 ribu guru PAUD yang saat ini tercatat dalam sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Namun ia mengakui, rumusan pasal-pasal soal PAUD masih akan dibahas lebih lanjut dalam naskah akademik dan harmonisasi antar-kementerian.
Sebelumnya, DPR menyatakan saat ini masih menyusun draf RUU Sisdiknas. Perubahan itu, menurut Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian, berada pada urutan ke-13 dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2025-2029. “Nanti 20-an Juni draf itu jadi, baru kami akan secara resmi melakukan konsultasi publik,” katanya di acara kajian kritis isu strategis dalam RUU Sisdiknas di kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Senin, 9 Juni 2025.
Hetifah mengatakan banyak isu strategis dalam perubahan UU Sisdiknas yang akan dibahas. Diantaranya pemerataan dan akses pendidikan, status dan kesejahteraan guru serta dosen, kurikulum dan standar nasional pendidikan, otonomi dan sentralisasi perguruan tinggi. “Hal yang juga sulit karena pasti banyak resistensi adalah terkait bagaimana mandatory spending 20 persen dari Undang-Undang Dasar Pasal 31 diterjemahkan ke dalam APBN dan APBD,” ujarnya.
Adapun beberapa isu yang ditampung dari berbagai pihak, kata Hetifah, seperti kurikulum dan standar nasional pendidikan sekarang yang bersifat seragam secara nasional. Juga keluhan soal pelajaran yang diberikan kurang relevan dengan realitas budaya sosial dan ekonomi lokal.
Anwar Siswadi berkontribusi dalam penulisan artikel ini