TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan perjanjian Helsinki tidak bisa dijadikan rujukan menentukan kepemilikan empat pulau yang menjadi sengketa antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.
Yusril menambahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara juga tidak bisa menjadi rujukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Perjanjian Helsinki enggak masuk. Dari UU 1956 itu juga enggak. Kami sudah pelajari hal itu,” kata Yusril kepada Tempo, Senin, 16 Juni 2025.
Yusril mengatakan UU Nomor 24 Tahun 1956 tidak menyebutkan status empat pulau yang menjadi sengketa. Ia mengatakan batas wilayah itu muncul pasca Reformasi dan setelah adanya pemekaran provinsi hingga kabupaten/kota.
Pemekaran wilayah ini menimbulkan banyak masalah perbatasan. Namun Yusril mengatakan pemerintah selama ini bisa dengan baik menyelesaikan sengketa pulau atau perbatasan. Ia menjelaskan, di masa lalu undang-undang yang membentuk provinsi, kabupaten dan kota dirumuskan secara sederhana tanpa batas-batas yang jelas, apalagi menggunakan titik koordinat seperti yang digunakan sekarang.
Yusril menegaskan bahwa sampai saat ini Pemerintah Pusat, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, belum mengambil keputusan apapun mengenai status empat pulau tersebut apakah masuk ke dalam wilayah Kabupaten Singkil, Aceh, atau masuk wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
"Penentuan batas wilayah kabupaten dan kota di daerah adalah kewenangan Mendagri yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Mendagri. Sampai saat ini, Permendagri tersebut belum pernah ada" ujar Yusril.
Menghadapi ketidakjelasan itu, Pemerintah Pusat biasanya menyerahkan kepada daerah untuk bermusyawarah menentukan sendiri batas-batas itu. Ia mengatakan tak jarang Pemerintah Pusat memfasilitasi dan menjadi penengah dalam menyelesaikan masalah tapal batas daerah.
“Hasil kesepakatan itu dituangkan dalam Permendagri. Hal yang sama juga dilakukan terhadap empat pulau yang jadi masalah antara Aceh dengan Sumut ini,” ujarnya.
Sebelumnya mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan empat pulau yang disengketakan Aceh dan Sumatera Utara adalah milik Aceh. Empat pulau itu adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Mangkir Besar, secara formal dan historis milik Aceh.
“Secara formal dan historis, empat pulau itu masuk wilayah Singkil, Provinsi Aceh,” kata Jusuf Kalla dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Ahad, 15 Juni 2025.
JK, panggilan Jusuf Kalla, mengatakan secara historis, kepemilikan Aceh atas pulau itu berkaitan dengan kesepakatan perundingan Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki pada 2005.
Dalam perundingan itu disepakati perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan yang dicantumkan dalam undang-undang (UU) UU Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno. UU tersebut menetapkan Provinsi Aceh sebagai daerah otonom dan memisahkan wilayah tersebut dari Sumatera Utara.
“Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, bahwa itu secara historis memang masuk Aceh, Aceh Singkil, bahwa letaknya dekat Sumatera Utara itu biasa,” kata JK.
JK juga mengatakan UU itu memiliki kedudukan lebih tinggi dari Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Kepmendagri itu menyatakan empat pulau tersebut adalah bagian dari Sumatera Utara. Karena itu, kepemilikan Aceh atas empat pulau itu tidak bisa dibatalkan dengan Kepmen.
"Jadi tidak mungkin bisa dibatalkan dengan Kepmen. Kepmen tidak bisa mengubah UU,” kata Jusuf.