TEMPO.CO, Banda Aceh -- Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh Masthur Yahya menyatakan prihatin atas sikap pemerintah pusat yang menetapkan empat pulau di wilayah Aceh Singkil sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Menurut dia, keputusan tersebut bukan hanya soal batas wilayah administratif. “Ini menyentuh urat sensitif sejarah dan identitas masyarakat Aceh yang sedang menumbuhkembangkan rasa saling percaya pascakonflik," ujar Masthur dalam keterangannya kepada Tempo di Banda Aceh pada Jumat, 13 Juni 2025.
Masthur mengatakan, saat ini di Aceh tengah dalam proses meredam, memulihkan luka-luka lama, dan memutus mata rantai dendam pasca konflik. Upaya tersebut melalui pengungkapan kebenaran, pendekatan rekonsiliasi, dan reparasi konprehensif. "Tapi belakangan ini sepertinya muncul guratan bisul baru yang berpotensi meletus jadi sentimen konflik berikutnya,” ujar dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisruh sengketa empat pulau bermula dari keputusan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang menempatkan empat pulau, yaitu Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek ke wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Empat pulau tersebut sebelumnya diakui sebagai bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, Aceh.
Masthur mengajak semua kalangan menahan diri, tidak provokatif, dan juga tidak terprovokasi dengan kebijakan tersebut. Menurut dia, pada akhir 2024, Kementerian Dalam Negeri disebut-sebut pernah 'mengusik' perdamaian yang sedang menguat di Aceh, yaitu menyarankan pembubaran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Masthur menegaskan, KKR Aceh hingga kini tetap melaksanakan mandat dan tugasnya setelah pemerintah Aceh meminta klarifikasi ke Kementerian Dalam Negeri.
Masthur menegaskan, lembaganya siap menjadi juru damai jika potensi konflik atas sengketa empat pulau yang menjadi perbincangan masyarakat di Aceh saat ini muncul. “Kami siap turun tangan sebagai juru damai. Ini bagian dari mandat moral kami: menjaga agar Aceh tidak kembali diseret ke pusaran konflik baru yang sesungguhnya bisa dihindari,” ujarnya.
Dia menuturkan, pendekatan administratif yang tidak sensitif terhadap sejarah dan trauma masa lalu di Aceh justru bisa menimbulkan situasi negatif yang merusak kembali kepercayaan masyarakat kepada pemerintah pusat. "Pemerintah pusat harus arif dan peka tentang Aceh. Ini bukan cuma soal peta, tapi soal perasaan, harga diri, memori sejarah dan damai yang berkelanjutan."
Masthur mendorong dialog terbuka antara pemerintah pusat, Wali Nanggroe Aceh, pemerintah Aceh, ulama, akademikus, majelis adat, dan warga terdampak untuk menegaskan solusi yang bermartabat dan tidak mengusik damai.
Adapun Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution mengatakan pihaknya terbuka jika ingin mengulang lagi pembahasan kepemilikan empat pulau kecil yang kini jadi sengketa dengan Aceh. Ia mengatakan kedatangannya ke Aceh pada 4 Juni 2025 lalu adalah untuk membicarakan persoalan ini dengan Gubernur Aceh Muzakir Manaf alias Mualem.
"Saya kemarin ke Aceh, ingin menyampaikan, kalau untuk masalah milik siapa itu pulau, mohon maaf, kalau kami bahas dari pagi sampai pagi lagi, sebenarnya nggak ada solusinya," kata dia seusai sidang paripurna DPRD Sumatera Utara pada Kamis, 12 Juni 2025.
Ia pun mengajak untuk membahas masalah ini secara bersama-sama. "Cuma kalau dibilang Sumatera Utara harus menyerahkan, nggak ada wewenangnya. Keputusannya pemerintah pusat," kata Bobby.