TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pihak menyuarakan kekhawatiran terhadap potensi konflik buntut pengalihan 4 pulau di Provinsi Aceh, yakni Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang, menjadi milik Sumatera Utara atau Sumut. Dekret pemerintah pusat pemicu sengketa pulau itu termaktub dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) yang terbit pada 25 April 2025.
Menurut Mendagri Tito Karnavian, sengketa perbatasan empat pulau antara Aceh dan Sumut memang rumit dan terjadi sudah lama. Tito menyebut kementeriannya harus menetapkan batas wilayah empat pulau tersebut karena berkaitan dengan penamaan pulau yang harus didaftarkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tapi, kini keputusan tersebut menuai polemik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masyarakat dan pejabat Aceh ramai-ramai menyuarakan penolakan terhadap pengalihan status kepemilikan pulau tersebut. Sejumlah pakar juga menyebut keputusan itu akan memicu perpecahan. Kini, setelah timbul polemik, pemerintah berusaha meredam kekacauan. Presiden Prabowo Subianto disebut akan turun tangan untuk mengambil alih penyelesaian masalah ini.
“Hasil komunikasi DPR RI dengan Presiden bahwa Presiden mengambil alih persoalan batas pulau yang menjadi dinamika antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara,” kata Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dalam keterangan tertulisnya, Ahad, 15 Juni 2025.
Berikut suara-suara khawatir sengketa 4 pulau antara Aceh dan Sumut bisa timbulkan konflik baru.
1. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh: Keputusan Mendagri Bisa Sulut Konflik yang Pernah Meletus
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh menyatakan prihatin atas sikap pemerintah pusat yang menetapkan empat pulau di wilayah Aceh sebagai bagian dari Sumut. Ketua KKR Aceh Masthur Yahya mengatakan keputusan tersebut bukan hanya soal batas wilayah administratif. Keputusan ini bisa menyulut konflik yang pernah meletus di Aceh.
“Ini menyentuh urat sensitif sejarah dan identitas masyarakat Aceh yang sedang menumbuhkembangkan rasa saling percaya pascakonflik,” ujar Masthur dalam keterangannya kepada Tempo di Banda Aceh pada Jumat, 13 Juni 2025.
Adapun rakyat Aceh pernah melakukan perlawanan dalam Gerakan Aceh Merdeka atau GAM buntut kekecewaan terhadap pemerintah. Masthur mengatakan, saat ini di Aceh tengah dalam proses meredam, memulihkan luka-luka lama, dan memutus mata rantai dendam pasca konflik. Upaya tersebut melalui pengungkapan kebenaran, pendekatan rekonsiliasi, dan reparasi konprehensif.
“Tapi belakangan ini sepertinya muncul guratan bisul baru yang berpotensi meletus jadi sentimen konflik berikutnya,” ujar dia.
Masthur mengajak semua kalangan menahan diri, tidak provokatif, dan juga tidak terprovokasi dengan kebijakan tersebut. Masthur mendorong dialog terbuka antara pemerintah pusat, Wali Nanggroe Aceh, pemerintah Aceh, ulama, akademikus, majelis adat, dan warga terdampak untuk menegaskan solusi yang bermartabat dan tidak mengusik damai.
2. Komisi II DPR: Sengketa Dikhawatirkan Picu Konflik Berkepanjangan
Anggota Komisi II DPR Agustina Mangande meminta pemerintah pusat segera memediasi sengketa pulau antara Aceh dan Sumut. Agustina, dalam keterangan tertulisnya, Ahad, 15 Juni 2025, mengatakan sengketa batas wilayah dua provinsi tersebut bukan hal sepele. Sengketa ini dikhawatirkan memicu konflik berkepanjangan
“Pemerintah pusat perlu memediasi semua pihak untuk duduk bersama, menyampaikan argumen masing-masing secara terbuka dengan dukungan data geografis, historis, dan budaya,” kata Agustina. “Aceh punya pengalaman panjang dalam konflik, dan penyelesaiannya butuh pendekatan hati-hati, serta waktu yang tidak sebentar.”
Menurut Agustina, ada tiga faktor pemicu munculnya sengketa batas wilayah. Pertama, perbedaan penafsiran terhadap batas-batas wilayah. Kedua, perbedaan kepentingan ekonomi yang acap berbeda antarwilayah. Ketiga, perhatian pemerintah pusat dan pemerintah daerah terhadap infrastruktur dan pelayanan publik di wilayah perbatasan relatif belum optimal.
Untuk mencegah masalah batas wilayah menjadi berlarut-larut, Agustina berharap pemerintah pusat aktif menjalan peran sebagai penengah. ‘Pemerintah pusat tidak boleh pasif, harus segera bertindak sebagai penengah agar sengketa ini tidak melebar menjadi ketegangan politik yang mengganggu stabilitas kawasan,” kata dia.
3. Pimpinan Pusat Muhammadiyah: Aceh Pernah Konflik dengan Pemerintah Puluhan Tahun
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Anwar Abbas juga menyuarakan kekhawatirannya soal potensi konflik buntut sengketa pulau antara Aceh dan Sumut. Ia meminta pemerintah menghindari terjadinya disintegrasi akibat polemik tersebut. Anwar mengingatkan banyak korban berjatuhan selama konflik bersenjata puluhan tahun di Aceh antara pihak pemerintah dan GAM.
Konflik pemerintah pusat dengan GAM berakhir berdamai melalui Kesepakatan Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005. Menurut Anwar, beberapa poin hasil perjanjian tersebut, antara lain pemberian otonomi khusus yang lebih luas kepada pemerintah Aceh, penyelenggaran pemilihan umum istimewa di Aceh, serta pemberian amnesti anggota GAM.
“Berkat konsistensi pemerintah Indonesia dalam mematuhi kesepakatan, perdamaian di aceh bisa terwujud dengan baik. Tetapi setelah 20 tahun berlalu perdamaian yang ada kembali terusik,” kata Anwar kepada Tempo, Senin, 16 Juni 2025.
Menurut Anwar, keputusan itu telah membuat pemerintah dan rakyat Aceh tersinggung karena keempat pulau tersebut menurut mereka, dan juga menurut Jusuf Kalla secara formal dan historis, masuk wilayah Singkil, Provinsi Aceh. Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia ini berharap Presiden Prabowo dapat menyelesaikan polemik ini dengan sebaik-baiknya.
“Sebab kalau kita gagal menangani masalah ini, maka tidak mustahil akan menimbulkan disintegrasi bangsa dan kita tentu saja tidak mau hal itu terjadi.“
4. Partai Keadilan Sejahtera (PKS): Mendagri Jangan Buat Suasana Keruh
Ketua Majelis Pertimbangan Pusat PKS Mulyanto mendesak Mendagri Tito Karnavian untuk mengkaji ulang keputusan pengalihan status empat pulau Aceh menjadi milik Sumut. Mulyanto menilai isu sengketa pulau tersebut sangat sensitif dan tidak semestinya diputuskan secara sepihak oleh pemerintah.
“Pemerintah sebaiknya hati-hati dan mengedepankan pendekatan dialogis yang komprehensif,” kata Mulyanto dalam keterangan tertulis pada Sabtu, 14 Juni 2024.
Ia mengingatkan agar Mendagri tidak membuat suasana menjadi keruh, terutama di tengah kondisi politik yang relatif stabil untuk melanjutkan program pembangunan nasional dan daerah.
Menurut dia, masalah ini tidak cukup diputuskan secara sepihak oleh pemerintah, namun secara dialogis perlu melibatkan masyarakat melalui pembahasan di komisi terkait DPR RI bersama dengan anggota DPD RI dari daerah pemilihan yang bersangkutan. Selama ini kan prosesnya demikian, mirip dengan pembahasan pemekaran wilayah yang dilakukan di DPR RI.
Anggota Komisi Energi DPR periode 2018–2024 itu menekankan pengkajian tidak cukup hanya berbasis peta administrasi, melainkan perlu mempertimbangkan faktor sejarah, sosial-budaya, hingga potensi ekonomi wilayah tersebut. Perlu pembahasan yang mendalam dan terbuka bagi masyarakat. Karena soal penetapan empat pulau ini, terkait dengan soal batas provinsi, yang merupakan masalah yang sensitif bagi masyarakat Aceh.
“Karena Provinsi Aceh adalah daerah otonomi khusus. Mestinya pembahasan lebih mendalam dari sekedar soal batas administratif,” kata dia.