TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kebudayaan Fadli Zon banjir kecaman setelah menyatakan perkosaan massal dalam Kerusuhan Mei 1998 hanyalah rumor. Fadli Zon menyebut tidak ada bukti yang tertulis dalam buku sejarah ihwal peristiwa itu. Karena, kata dia, pemerintah berupaya menulis ulang sejarah untuk mengklarifikasi rumor-rumor yang dianggap sebagai fakta, temasuk tragedi perkosaan massa.
Awalnya Fadli menjelaskan, penulisan ulang sejarah bertujuan mengklarifikasi rumor yang selama ini dianggap fakta sejarah. Dia kemudian menjadikan peristiwa pemerkosaan massal sebagai contoh rumor yang ingin diluruskan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pemerkosaan massal kata siapa? Enggak pernah ada buktinya. Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan," katanya dalam wawancara yang ditayangkan di siaran YouTube media IDN Times pada Rabu, 11 Juni 2025. Uni Lubis selaku pemimpin redaksi telah mengizinkan Tempo mengutip pernyataan Fadli dalam video tersebut.
Tempo merangkum sederet kecaman terhadap Fadli Zon setelah menyatakan peristiwa perkosaan massal pada Kerusuhan Mei 1998 hanya rumor:
1. Komnas HAM: Pernyataan Fadli Zon Keliru
Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menyebut pernyataan Fadli Zon ihwal tidak ada pemerkosaan massal pada Kerusuhan Mei 1998 adalah keliru. Dalam keterangan resminya, Senin, 16 Juni 2025, Anis juga menepis tudingan Fadli Zon bahwa peristiwa perkosaan massal tersebut tidak ada bukti.
Anis pun membeberkan bukti terjadinya peristiwa perkosaan massal pada 1998. Pada Maret 2003, Komnas HAM membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998. Tim Ad Hoc bekerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Penyelidikan itu rampung pada September 2003.
“Berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM, Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 dinyatakan sebagai Pelanggaran HAM yang Berat, yaitu Kejahatan terhadap Kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” kata Anis.
Adapun bentuk-bentuk tindakan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000 dalam Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998, antara lain pembunuhan; perampasan kemerdekaan; penyiksaan; perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; dan persekusi.
Pada 19 September 2003, Komnas HAM melalui Surat Nomor: 197/TUA/IX/2003 menyerahkan hasil penyelidikan pelanggaran HAM yang berat Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 kepada Jaksa Agung selaku penyidik. Anis mengatakan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 telah diakui oleh pemerintah, serta sebagian korban dan keluarga korban telah mendapatkan layanan.
Pada 2022 pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat (Tim PPHAM). Setahun kemudian, pada 11 Januari 2023, setelah menerima Laporan Akhir Tim PPHAM, Presiden Joko Widodo mengakui Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 dan 11 peristiwa lainnya sebagai pelanggaran HAM yang berat.
Kemudian pada 15 Maret 2023, Presiden mengeluarkan Inpres Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat. Selanjutnya, pada 11 Desember 2023 keluarga korban Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 mendapatkan layanan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
2. Aktivis perempuan Ita Fatia Nadia: Pernyataan Fadli Zon Penyangkalan Sejarah dan Kebohongan Terhadap Publik
Kecaman juga datang dari aktivis perempuan Ita Fatia Nadia. Pendamping korban pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 itu menilai pernyataan Fadli merupakan bentuk penyangkalan sejarah dan kebohongan terhadap publik yang melukai para penyintas dan menyesatkan generasi baru.
“Saya ingin menyatakan kepada teman-teman bahwa apa yang dikatakan oleh Fadli Zon tentang itu bohong dan rumor, telah menyalahi fakta sejarah yang terjadi pada bulan Mei 1998,” kata Ita dalam konferensi pers yang digelar Jumat, 13 Juni 2025.
Pernyataan Fadli Zon, menurut Ita, mengingkari fakta sejarah yang telah didokumentasikan secara resmi. Ia juga membantah pernyataan Fadli Zon soal tidak ada catatan dalam buku sejarah ihwal peristiwa tersebut. Catatan itu, kata dia, tertuang dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid 6 halaman 609, serta laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pasca-reformasi.
“Dalam buku tersebut tertulis bahwa pada pergolakan politik bulan Mei 1998, terjadi perkosaan massal terhadap sejumlah perempuan Tionghoa di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Solo. Dan itu dituliskan dengan sangat rinci di dalam temuan Tim Gabungan Pencari Fakta,” ujar mantan Direktur Yayasan Kalyanamitra itu.
Lebih lanjut, Ita menuturkan bahwa pada Oktober 1998, 11 perempuan termasuk dirinya, Prof. Saparinah Sadli, dan almarhum Dr. Mely G. Tan menyerahkan dokumen dan bukti kepada Presiden B.J. Habibie. Saat itu, pemerintah menerima laporan tersebut dan menyatakan kepercayaannya bahwa telah terjadi pemerkosaan massal. Dari situlah lahir gagasan pendirian Komnas Perempuan, dengan diprakarsai oleh Kamala Chandrakirana dan Smita Notosusanto.
“Ini jelas sekali Fadli Zon, Menteri Kebudayaan mengingkari fakta sejarah dan sebetulnya mengingkari keputusan Presiden Habibie nomor 181 tahun 1998,” ujar Ita.
Ita juga menyinggung pengakuan resmi negara dalam laporan dari Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat (PPHAM) yang diumumkan Presiden Joko Widodo pada Januari 2023. Dalam laporan itu, peristiwa kekerasan seksual terhadap perempuan pada Mei 1998 termasuk di antara 12 pelanggaran HAM berat yang diakui negara.
“Saya tetap berkata bahwa ini dusta, ini berbohong kepada publik Indonesia. Dan inilah saatnya kita menuntut kepada beliau untuk menyatakan permintaan maaf. Saya masih berhubungan dengan korban dengan sangat baik dan korban merasa tertekan,” kata anggota Tim Relawan Kemanusiaan Mei 1998 itu.
3. Amnesty International Indonesia: Pernyataan Fadli Zon Bentuk Pembelaan Diri Pemerintah Karena Aib Masa Lalu
Amnesty Internasional Indonesia menilai pernyataan Fadli Zon merupakan bentuk pembelaan diri atas masa lalu kelam yang dimiliki oleh pemerintahan saat ini. Direktur Amnesty International Usman Hamid mengatakan pemerintah berusaha menghindari rasa malu akibat jejak masa lalu yang ditinggalkan penguasa terdahulu.
“Mereka menghindari rasa bersalah, menghindari rasa malu, atau menghindari tidak nyaman karena rekam jejak masa lalu yang ditinggalkan oleh mereka (penguasa),” kata Usman Hamid dalam Konferensi Pers Masyarakat Sipil Melawan Impunitas melalui Zoom Meeting pada Jumat, 13 Juni 2025.
Dia menjelaskan bahwa pernyataan Fadli Zon menihilkan salah satu tragedi yang terjadi dalam kerusuhan Mei 1998 itu membuktikan kecurigaan para aktivis bahwa penulisan ulang sejarah resmi yang tengah digarap pemerintah bertujuan untuk menghilangkan jejak hitam para penguasa, tak terkecuali Presiden Prabowo Subianto.
Anggapan bahwa tidak ada bukti yang sah tentang peristiwa itu, menurut Usman, merupakan kekeliruan yang fatal. Dia menjelaskan secara kaidah kebahasaan, rumor adalah cerita atau laporan yang beredar luas di masyarakat tanpa ada otoritas yang mengetahui kebenarannya. Sementara peristiwa itu sudah diverifikasi kebenarannya berulang kali oleh berbagai otoritas resmi.
Otoritas resmi yang mengakui peristiwa itu di antaranya Tim Gabungan Pencari Fakta yang dibentuk oleh Presiden Habibie pada Juli 1998, yang juga disetujui oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan, Panglima Angkatan Bersenjata, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agu
Tak hanya itu, peristiwa itu juga diakui oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM dengan memasukkan insiden itu menjadi 1 dari 12 pelanggaran HAM berat yang harus diadili. “Mereka-mereka ini dibentuk oleh lembaga resmi dan sesuai dengan amanat undang-undang,” ucap Usman.
Lebih lanjut, Usman juga membantah argumen Fadli Zon yang mengatakan bahwa cerita pemerkosaan massal di masa lalu tidak bisa dijadikan sebagai bukti dalam pengadilan. Usman menyebut alasan itu batal lantaran pemerintah bahkan tidak pernah menggelar pengadilan yang mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Alih-alih menghapusnya dari sejarah, Usman berujar semestinya pemerintah menggelar peradilan tersebut.
“Jadi seharusnya yang dilakukan oleh pemerintah adalah membentuk terlebih dahulu pengadilan hak asasi manusia atau pengadilan apa pun untuk memeriksa keseluruhan laporan dan bukti-bukti yang terkait dengan pemerkosaan massal,” kata dia.
4. PKB: Pernyataan Fadli Zon Menyakiti Perasaan Korban
Dewan Pengurus Pusat Perempuan Bangsa-organisasi sayap Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB, juga mengkritik pernyataan Fadli Zon. Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa Nihayatul Wafiroh mengatakan, penyangkalan bukan hanya menyakiti perasaan korban dan keluarga, tapi juga menggambarkan ketidaktahuan dan sikap a...