TEMPO.CO, Jakarta - Pada 17 Juni 1948 menjadi salah satu peristiwa penting dalam perjalanan sejarah penerbangan sipil Indonesia. Pada hari tersebut, Presiden Sukarno meminta dukungan dari rakyat Aceh dalam bentuk sumbangan untuk pembelian pesawat terbang guna memperkuat kedaulatan Republik Indonesia yang saat itu masih dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Permintaan itu disampaikan langsung Sukarno saat melakukan kunjungan ke Kutaraja, kini dikenal sebagai Banda Aceh. Sehari sebelumnya, pada 16 Juni 1948, Soekarno berpidato di hadapan masyarakat setempat. Dalam pidatonya, ia mengutarakan pentingnya ketersediaan armada udara nasional dan mengajak rakyat Aceh berpartisipasi dalam usaha pengadaan pesawat bagi negara yang masih muda tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Respons masyarakat Aceh terhadap permintaan tersebut tercatat sangat cepat dan konkret. Dengan dukungan dari Tengku Muhammad Daud Beureueh, tokoh ulama sekaligus Gubernur Militer Aceh pada masa itu, masyarakat Aceh berhasil menggalang dana dalam bentuk emas seberat kurang lebih 20 kilogram atau senilai sekitar 120 ribu dolar Singapura saat itu. Dana tersebut selanjutnya digunakan untuk membeli dua unit pesawat C-47 Dakota di Singapura melalui perantara Wieweko, seorang pengusaha asal Aceh yang turut membantu dalam proses pembelian.
Sebagai bentuk penghormatan atas kontribusi rakyat Aceh, kedua pesawat yang berhasil dibeli tersebut diberi nama Seulawah R-001 dan Seulawah R-002. Nama "Seulawah" sendiri diambil dari nama sebuah gunung di Aceh, yang dalam bahasa setempat berarti "gunung emas", simbolisasi dari asal-usul dana pembeliannya.
Kedua pesawat itu kemudian dioperasikan oleh Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dan digunakan untuk mendukung berbagai kebutuhan transportasi pejabat negara. Salah satu misi awalnya adalah menerbangkan Wakil Presiden Mohammad Hatta dalam kunjungan kerja ke wilayah Sumatera, dengan rute meliputi Yogyakarta, Jambi, Payakumbuh, Kutaraja, dan kembali ke Yogyakarta.
Namun, tidak lama setelahnya, terjadi perubahan situasi politik dan militer yang cukup signifikan. Pada awal Desember 1948, pesawat Seulawah dikirim ke Calcutta (sekarang Kolkata), India, untuk menjalani perawatan dan peningkatan kapasitas tangki bahan bakar. Proses ini diperkirakan membutuhkan waktu sekitar tiga minggu.
Belum selesai menjalani servis, situasi di tanah air berubah drastis: pada 19 Desember 1948, Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota Republik Indonesia, diserang dan diduduki oleh Belanda dalam rangka agresi militer kedua. Kondisi ini menyebabkan jalur komunikasi antara pemerintah pusat dan awak pesawat terputus.
Menghadapi ketidakpastian tersebut, para awak AURI yang berada di luar negeri memutuskan untuk membentuk unit operasional sendiri guna memastikan keberlangsungan hidup dan perawatan pesawat. Mereka kemudian mendirikan sebuah perusahaan penerbangan bernama Indonesian Airways, yang sepenuhnya dijalankan oleh personel AURI. Dalam rangka mendapatkan pemasukan, pesawat Seulawah disewakan kepada pemerintah Burma (sekarang Myanmar) mulai 26 Januari 1949.
Operasional pesawat di Burma berlangsung hingga tahun yang sama, sebelum akhirnya berakhir seiring dengan tercapainya kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Indonesia dan Belanda. Setelah KMB disahkan pada akhir tahun 1949, pesawat dan seluruh awaknya dapat kembali ke Indonesia pada tahun 1950. Setibanya di tanah air, pesawat-pesawat tersebut diserahkan kembali kepada AURI dan dimasukkan ke dalam struktur resmi Dinas Angkutan Udara Militer.
Dalam perkembangan berikutnya, Garuda Indonesian Airways mulai dirintis sebagai maskapai penerbangan sipil nasional. Maskapai ini pada awalnya berbentuk kerja sama antara pihak Indonesia dan Belanda, sebagai bagian dari implementasi hasil KMB.
Kerja sama ini dipilih karena keterbatasan sumber daya manusia dan pembiayaan dari pihak Indonesia saat itu. Presiden Sukarno kemudian mengusulkan nama "Garuda" untuk maskapai ini, terinspirasi dari mitologi Hindu yang menggambarkan Garuda sebagai tunggangan Dewa Wisnu.
Meskipun kegiatan penerbangannya telah dimulai sejak akhir 1940-an, secara legal perusahaan ini baru memiliki akta pendirian pada 31 Maret 1950. Empat tahun kemudian, tepatnya pada 24 Maret 1954, Garuda Indonesia dinasionalisasi sepenuhnya menjadi milik negara dan menjadi maskapai penerbangan resmi Republik Indonesia hingga saat ini.
Sumbangan rakyat Aceh pada masa awal kemerdekaan tersebut tidak hanya menjadi bukti dukungan moral dan material terhadap negara yang baru berdiri, tetapi juga merupakan salah satu fondasi penting dalam pembangunan sistem transportasi udara nasional.
Salah satu tokoh masyarakat Aceh yang turut menyumbang dalam penggalangan dana ini adalah Nyak Sandang. Di usia 23 tahun, ia bersama keluarganya menyerahkan harta berupa sepetak tanah dan 10 gram emas yang saat itu bernilai sekitar Rp 100, sebagai bentuk partisipasi dalam perjuangan bangsa.
Hendrik Khoirul Muhid berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Nyak Sandang Penyumbang Pesawat pertama RI Bertemu Jokowi