TEMPO.CO, Jakarta - Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al-Haythar bertemu dengan mantan wakil presiden Jusuf Kalla atau JK setelah pemerintah memutuskan Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil adalah milik Provinsi Aceh. Pertemuan itu digelar di kediaman JK di Jalan Brawijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Selasa malam, 17 Juni 2025.
Di tengah guyuran hujan deras, mobil hitam yang dinaiki oleh Wali Nanggroe Aceh berhenti di garasi milik JK. Menurut pantauan Tempo di lokasi, pertemuan itu mulai pukul 19.00 dan masih berlangsung hingga pukul 20.30 WIB. Tampak hadir pula mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said serta mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sekarang alhamdulillah persoalan sudah selesai. Sudah enggak banyak komentar lagi,” kata JK kepada wartawan di sela-sela pertemuan itu.
JK mengatakan, awalnya pertemuan itu guna mendiskusikan secara serius ihwal sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara atau Sumut tersebut. Polemik ini muncul setelah Kementerian Dalam Negeri atau memutuskan bahwa keempat pulau di Kabupaten Aceh Singkil, Aceh, dialihkan menjadi milik Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut.
Diskusi serius antara JK dan Malik Mahmud Al Haythar batal lantaran pada Selasa siang atau beberapa jam sebelum pertemuan keduanya berlangsung, Presiden Prabowo Subianto memutuskan empat pulau itu dikembalikan ke wilayah administrasi Aceh. Penetapan ini berdasarkan dokumen administrasi yang dimiliki pemerintah.
“Sebenarnya kita malam ini mau bicara serius, tapi karena sudah selesai, Alhamdulillah. Tapi Alhamdulillah, sudah selesai. Jadi tinggal silaturahmi,” tutur JK.
Dalam pertemuan tersebut, JK dan Malik Mahmud menyampaikan sejumlah pernyataan terkait sengketa pulau antara Aceh dan Sumut yang akhirnya dirampungkan oleh pemerintah. JK mengatakan kasus sengketa ini diharapkan bisa menjadi pembelajaran bagi pemerintah. Sedangkan Malik Mahmud berujar kasus sengketa pulau bisa memancing perang antar suku jika tak segera diselesaikan.
Pernyataan JK dan Mahmud Al Haythar
Jusuf Kalla mengatakan kembalinya empat pulau ke Aceh harus menjadi bahan pembelajaran bagi pemerintah. Ia menilai keputusan pemerintah yang semula memindahkan empat pulau Aceh ke Sumut tidak tepat. Seharusnya, kata dia, pemerintah menelaah aspek historis dan meninjau Undang-Undang Pemerintah Aceh serta perjanjian Helsinki sebelum memutuskan status empat pulau yang disengketakan.
“Ini pembelajaran bagi pemerintah bahwa sebelum mengambil tindakan-tindakan itu harus juga memahami sejarah, memahami undang-undang itu sendiri,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam keterangan resmi pada Ahad, 15 Juni 2025, JK mengatakan bahwa empat pulau yang disengketakan Aceh dan Sumut adalah milik Aceh. Ia menyebut kepemilikan Aceh atas pulau itu berkaitan dengan kesepakatan perundingan Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki pada 2005.
“Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, bahwa itu secara historis memang masuk Aceh, Aceh Singkil, bahwa letaknya dekat Sumatera Utara itu biasa,” kata JK.
JK juga menyampaikan, UU itu memiliki kedudukan lebih tinggi dari Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Kepmendagri itu menyatakan empat pulau tersebut adalah bagian dari Sumatera Utara. Karena itu, kepemilikan Aceh atas empat pulau itu tidak bisa dibatalkan dengan Kepmen.
Dalam pertemuan itu, Malik Mahmud Al Haythar mengatakan apabila pemerintah tak mengembalikan empat pulau ke Aceh, akan terjadi konflik antara Aceh dan Sumut. Pemimpin adat itu mengatakan selama terjadi persengketaan wilayah, masyarakat Aceh naik pitam. Menurut Malik, mereka mengibarkan bendera Aceh di empat pulau tersebut.
Ia menjelaskan, pulau-pulau itu sudah lama masuk menjadi wilayah administrasi Aceh. Bahkan sejak zaman penjajahan oleh Belanda. Sehingga bila diputuskan keempat pulau dipindah ke teritorial Sumut, Malik menyebut masyarakat Aceh tentu memprotes keras. Jika konflik ini dibiarkan berlarut, ia khawatir akan dampak yang mungkin muncul.
“Seperti tadi saya bilang, ini akan jadi perang suku antara Sumatera Utara dan Aceh. Ini akan pecah belah Indonesia ini kan,” tuturnya.
Namun, ia menyampaikan bahwa kabar kembalinya empat pulau ke wilayah Aceh langsung meredam ketegangan di masyarakat setempat. “Mudah-mudahan semuanya tenang. Kalau tidak memang agak panas. Itu yang saya khawatirkan juga kan. Karena jangan kita menggaruk lagi luka lama,” kata Malik.
Malik Mahmud juga mengharapkan adanya pengesahan aturan mengenai pengibaran bendera Aceh. Ia berujar masyarakat Aceh masih memiliki keinginan kuat untuk bisa mengibarkan bendera dengan lambang bulan bintang itu. “Ya bagi orang-orang Aceh itu diharapkan bahwa bendera itu disahkan. Kami menunggu saja,” katanya.
Polemik pengibaran bendera Aceh berasal dari perbedaan pandangan antara perjanjian Helsinki, peraturan perundang-undangan nasional dan regulasi daerah (Qanun) di Aceh. Dalam perjanjian Helsinki terdapat klausul bahwa Aceh berhak menggunakan simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne sendiri.
Namun itu bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 yang melarang daerah menggunakan lambang mirip organisasi separatis, dalam hal ini Gerakan Aceh Merdeka atau GAM. Hingga kini polemik soal legalitas penggunaan bendera Aceh belum menemui titik temu.