TEMPO.CO, Yogyakarta - Pendamping korban pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998, Ita Fatia Nadia mengalami serangkaian teror secara beruntun seusai memprotes pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyatakan tidak ada bukti pemerkosaan massal 1998.
Ita merupakan bagian dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan tragedi kerusuhan Mei 1998 mengatakan teror ia terima beberapa jam setelah ia menjadi narasumber dalam konferensi pers Koalisi Perempuan Indonesia menolak pernyataan Fadli Zon.
Pada Jumat, 13 Juni 2025, Ita bersama sejumlah pembicara lainnya di antaranya aktivis hak asasi manusia dan feminis Kamala Chandra Kirana, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto, dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Dalam jumpa pers itu, Ita menyatakan Fadli Zon berdusta di ruang publik karena pemerkosaan itu fakta sejarah, bukan rumor. Selain itu, Fadli Zon juga menyangkal berdirinya Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan) berdasarkan keputusan Presiden B.J. Habibie.
Menurut Ita, teror itu terjadi bertubi-tubi melalui sambungan telepon. Teror pertama terjadi pada Jumat malam pukul 20.00, beberapa jam setelah jumpa pers. Kepada Ita, penelepon itu mengancam Ita. “Kamu antek Cina karena bicara perkosaan Tionghoa. Siapa bilang Prabowo terlibat,” kata Ita menirukan suara penelepon itu kepada Tempo Senin, 16 Juni 2025.
Sehari setelahnya, pada Sabtu pagi, Ita kembali mendapatkan teror dengan nomor yang sama. Penelepon itu dengan suara yang lebih pelan ketimbang sebelumnya mengancamnya dengan menyebut mulutmu minta dibungkam selamanya. Tempo mengecek nomor penelepon tersebut melalui aplikasi. Tapi, nomor tersebut tak terdaftar.
Ita kembali mendapatkan ancaman serupa pada Senin, 16 Juni. Tapi, nomor penelepon tersebut tidak terdeteksi di ponselnya. Akibat teror tersebut, Ita memutuskan untuk sementara tidak menerima wawancara sejumlah jurnalis. “Saya istirahat dulu, memilih selamatkan keluarga,” ujar Ita.
Ita, kini berusia 67 tahun merupakan saksi kekejaman tentara selama rezim Orde Baru berkuasa. Ia terlibat dalam gelombang protes yang menumbangkan Soeharto, melibatkan mahasiswa dan aktivis pada Mei 1998. Saat itu tentara mengancam membunuh anaknya sehingga Ita hijrah dari Jakarta ke Yogyakarta. Ribuan perempuan dari berbagai organisasi masyarakat sipil melebur menjadi satu gerakan untuk melawan kekuasaan otoriter Orde Baru. Tanpa sekat dan kelas-kelas sosial, para perempuan yang mendapat cap radikal oleh pemerintahan Orde Baru itu tumplek bersama gerakan mahasiswa 1998
Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan periode 1998-2006 itu juga aktif dalam berbagai dalam unjuk rasa dan diskusi menolak pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia di Yogyakarta. Setelah memprotes UU TNI, Ita juga mengalami teror dalam bentuk telepon. Dia sudah melaporkan teror berkali-kali itu ke Amnesty Internasional.
Pilihan Editor: Komnas HAM: Pernyataan Fadli Zon soal Tak Ada Pemerkosaan Massal 1998 Keliru
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini