TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto menyatakan akan mendalami pernyataan mantan wakil presiden Jusuf Kalla mengenai empat pulau yang disengketakan oleh Aceh dan Sumatera Utara. Bima mengatakan apa yang disampaikan Jusuf Kalla bakal dipelajari seperti dokumen-dokumen lainnya.
“Kami melihat apa yang disampaikan Pak Jusuf Kalla itu penting untuk menjadi rujukan,” kata Bima saat memberikan keterangan pers di kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, pada Senin, 16 Juni 2025. “Kami pelajari masing-masing substansi, ke arah mana petunjuk untuk kepemilikan yang lebih permanen begitu.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun Kementerian Dalam Negeri telah menggelar rapat lintas instansi bersama Sekjen Kementerian Pertahanan, Kepala Badan Informasi dan Geospasial, dan perwakilan TNI Angkatan Laut, Angkatan Darat, hingga sejarawan pada hari ini. Usai rapat Bima mengatakan kementeriannya telah menemukan data baru dalam penyelesaian sengketa Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang itu.
“Kami pelajari lebih dalam lagi ada novum atau data baru yang kami peroleh,” kata Bima. “Kami jadikan melalui satu kelengkapan berkas.” Adapun ketika ditanya target waktu penyelesaian sengketa ini, Bima mengatakan presiden sangat memberikan atensi dan akan mengambil keputusan dalam jangka waktu yang tidak lama.
Menurut mantan Wali Kota Bogor ini, Kementerian Dalam Negeri telah mempelajari kronologis masalah ini. “Karena ini rentangnya sangat panjang. Setiap momen-momen yang menentukan itu kami telusur lagi dokumennya,” katanya.
Sebelumnya, Jusuf Kalla mengatakan empat pulau yang disengketakan Aceh dan Sumatera Utara adalah milik Aceh. Secara historis, kata Politikus Partai Golkar itu, kepemilikan Aceh atas pulau itu berkaitan dengan kesepakatan perundingan Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki pada 2005.
Dalam perundingan tersebut disepakati perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan yang dicantumkan dalam undang-undang (UU) UU Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno. UU tersebut menetapkan Provinsi Aceh sebagai daerah otonom dan memisahkan wilayah tersebut dari Sumatera Utara.
Jusuf juga menilai, UU itu memiliki kedudukan lebih tinggi dari Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Kepmendagri itu menyatakan empat pulau tersebut adalah bagian dari Sumatera Utara. Karena itu, kepemilikan Aceh atas empat pulau itu tidak bisa dibatalkan dengan Kepmen. "Jadi tidak mungkin bisa dibatalkan dengan Kepmen. Kepmen tidak bisa mengubah UU,” kata Jusuf dalam keterangan resmi Ahad, 15 Juni 2025.
Perselisihan batas wilayah antara kedua provinsi itu mencuat setelah penetapan kodifikasi wilayah oleh pemerintah pusat yang memicu penolakan dari sejumlah pihak di Aceh. Sepotong rekaman video yang memperlihatkan Gubernur Aceh Muzakir Manaf meninggalkan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dalam suatu persamuhan, menambah riak ketegangan ini.
Muzakir belakangan mengatakan alasan potensi kandungan gas di pulau tersebut setara dengan Blok Andaman. Muzakir mengatakan bahwa Aceh sebenarnya tidak ingin ribut mengenai ini.
Menanggapi polemik ini, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan Presiden Prabowo Subianto akan mengambil alih penyelesaian sengketa batas wilayah antara dua kepulauan tersebut. Hal itu disampaikan Dasco usai melakukan komunikasi langsung dengan Prabowo beberapa waktu lalu.
Dalam pernyataannya, Dasco menyebut Prabowo akan segera memberikan keputusan resmi mengenai polemik tersebut. “Pada pekan depan akan diambil keputusan oleh Presiden tentang hal itu,” kata Ketua Harian Partai Gerindra ini dalam keterangan tertulisnya, Ahad, 15 Juni 2025.