TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kasus Yuguru secara resmi melaporkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam kematian seorang warga Yuguru, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan bernama Abral Wandikbo. Pria 27 tahun itu ditemukan tewas dengan kondisi telinga dan hidung dimutilasi pada Maret 2025 lalu.
Laporan disampaikan Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) ke Komnas HAM bersama sejumlah organisasi lain seperti Kontras, Amnesty International Indonesia, AJI, dan PGI pada Jumat, 13 Juni 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami datang melaporkan kasus ini secara resmi ke Komnas HAM karena ada dugaan kuat telah terjadi pelanggaran HAM berat. Abral ditangkap, disiksa, dan ditemukan meninggal. Ini bukan prosedur yang sah, ini pembunuhan,” ujar Direktur YKKMP Theo Hesegem saat ditemui Tempo di Kantor Komnas HAM.
Theo menyebut, selain ke Komnas HAM, pihaknya juga telah mendatangi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK. “Kami minta perlindungan untuk saksi dan keluarga korban agar proses berjalan aman dan transparan,” ujarnya.
Ia juga mengatakan telah bertemu sejumlah media untuk mengawal kasus ini. “Kami juga sudah lapor ke Puspom TNI,” ucap Theo.
Meski mengaku harapan terhadap penegakan keadilan di Papua sangat tipis, Theo tetap mendorong agar kasus ini diusut tuntas. Ia mencontohkan bahwa sebelumnya pernah ada anggota aparat yang dijatuhi hukuman dalam kasus serupa. “Karena kita punya pengalaman yang lain. Kasus di Timika, mutilasi besar-besaran, dan itu ya lumayanlah sedikit, ada aparat yang melakukan itu diberikan hukuman yang setimpal,” ujar Theo.
Menurut koalisi, Abral ditangkap pada 22 Maret 2025 di Kampung Yuguru, Kabupaten Nduga, lalu dinyatakan akan segera dibebaskan. Namun dua hari kemudian, pada malam 24 Maret 2025, ia diduga dibunuh dan dibuang di area kebun, sebelum akhirnya ditemukan oleh keluarga pada 26 Maret 2025 dalam kondisi tak bernyawa.
Perwakilan KontraS, Muhammad Yahya Ihyaroza, mengatakan bahwa penangkapan Abral dilakukan hanya berdasarkan foto. “Jadi sebetulnya TNI ini kan melakukan penindakan terhadap korban, Abral Wandikbo, ini hanya berdasarkan foto. Jadi ada foto yang didapati oleh TNI, yang di mana dalam foto itu ada orang Papua sedang memegang senjata. Sementara fotonya itu sebetulnya kurang jelas dan tidak dapat dibuktikan apakah orang yang berada di foto tersebut merupakan Abral atau bukan. Fotonya pun juga diambil dari Facebook,” ujar Yahya dalam kesempatan yang sama.
Ia menambahkan bahwa peristiwa ini mencerminkan pola pelanggaran hukum dan HAM yang terus terjadi di Papua, termasuk pandangan rasialis dan stigmatisasi terhadap masyarakat Papua, khususnya terkait tuduhan keterlibatan dengan gerakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat -Organisasi Papua Merdeka atau TPNPB-OPM. “TNI dalam hal ini melakukan tindakan secara sewenang-wenang tanpa adanya proses hukum yang jelas terlebih dahulu, tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu apakah betul orang yang ada di foto tersebut merupakan Abral,” ucapnya.