TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menginginkan peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru. Habiburokhman menyampaikan hal ini dalam rapat dengar pendapat umum atau RDPU tentang revisi KUHAP dengan LPSK pada hari ini.
“Menurut kami, yang paling penting terkait LPSK ini adalah kami ingin memperjuangkan ini, apakah namanya disebut nomenklaturnya LPSK atau lembaganya masuk di dalam KUHAP yang baru,” ujar Habiburokhman di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Selasa, 17 Juni 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun demikian, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini mengatakan LPSK dan Komisi Hukum DPR masih perlu berkoordinasi lebih lanjut untuk membahas peran lembaga dalam KUHAP. Habiburokhman pun meminta satu perwakilan komisioner LPSK didampingi tenaga ahli ataupun staf untuk berkomunikasi dengan tenaga ahli Komisi III dan Badan Keahlian DPR. “Saya pikir merumuskan pasal yang konkret terkait eksistensi LPSK di dalam KUHAP nantinya,” ujar dia.
Pada kesempatan yang sama, Ketua LPSK Achmadi menyambut positif usulan Habiburokhman. Achmadi menegaskan lembaganya siap dilibatkan dalam pembahasan KUHAP yang baru. “Dan norma yang Bapak sampaikan sangat perlu diatur,” ujar Achmadi.
Adapun dalam RDPU hari ini, LPSK memberikan setidaknya enam masukan untuk revisi KUHAP. Menurut Achmadi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP yang masih berlaku saat ini lebih berorientasi pada tersangka dan terdakwa, namun tidak pada korban dan saksi.
Sementara itu, ia melanjutkan, hukum pidana terus berkembang dan juga telah diatur dalam berbagai undang-undang, baik material maupun prosedural. “Maka menjadi penting untuk mengatur atau mengakomodasi pemenuhan hak dan jaminan perlindungan saksi dan korban seiring dengan adanya berbagai peraturan perundang-undangan itu,” ucap Achmadi.
Isu pertama yang dibawa oleh LPSK di hadapan Komisi Hukum DPR ialah mengenai fungsi perlindungan saksi dan korban sebagai sebuah subsistem peradilan pidana. Kedua, hak-hak yang dimiliki oleh saksi dan korban tindak pidana. “Yang ketiga adalah pernyataan dampak kejahatan yang dialami oleh korban atau sering disebut VIS, Victim Impact Statement,” kata Achmadi.
Masukan keempat yang diajukan LPSK ialah mekanisme atau hukum acara mengenai restitusi. Kelima, pengaturan terkait dengan saksi pelaku atau justice collaborator. Isu keenam ihwal konsep dana pemulihan korban kejahatan.