TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah sempat mengupayakan agar tersangka kasus terorisme yang ditahan di Guantanamo, Kuba, Encep Nurjaman alias Hambali, bisa kembali ke Indonesia. Namun kini, pemerintah justru menyatakan tidak akan mengizinkan pentolan teroris itu kembali masuk ke Tanah Air setelah dibebaskan.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan penyangkalan dikarenakan Hambali tidak menggunakan paspor Indonesia saat ditangkap otoritas Amerika Serikat. Hingga kini, kata dia, pemerintah belum memperoleh data sahih dan dokumen resmi yang membuktikan statusnya sebagai Warga Negara Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Hambali ditangkap tidak menunjukkan paspor Indonesia, tetapi paspor Spanyol dan Thailand.” ujar Yusril melalui keterangan pers, Sabtu, 14 Juni 2025.
Kilas Balik Upaya Pemulangan Hambali
Hambali ditangkap di Thailand pada 11 Agustus 2003. Pimpinan Jemaah Islamiyah atau JI–jaringan teroris yang terafiliasi dengan Alqaeda—itu sempat ditahan di Jordania, lalu dipindahkan ke penjara super ketat milik AS di Teluk Guantanamo, Kuba. Adapun Hambali ditahan di sana tanpa proses peradilan.
Pada Agustus 2021, setelah 18 tahun ditahan, Hambali akhirnya menjalani persidangan di Amerika Serikat. Hambali tidak disidang sendirian. Ia menjalani persidangan bersama dua komplotannya, Mohammed Nazir bin Lep dan Mohammed Farik bin Amin. Ketiganya dijarat pasal kejahatan militer, pembunuhan, terorisme, dan konspirasi.
Agenda pemulangan Hambali pertama kali diungkapkan oleh Yusril pada pertengahan Januari lalu. Yusril mengatakan pihaknya akan berdiskusi dengan Presiden Prabowo Subianto mengenai agenda pemulangan Hambali tersebut. Pemerintah Indonesia nantinya juga akan membicarakan rencana itu dengan pemerintah Amerika Serikat.
“Bagaimanapun Hambali adalah warga negara Indonesia. Betapa pun salah warga negara kita di luar negeri, tetap kita harus berikan perhatian,” kata Yusril, Jumat, 17 Januari 2025, seperti dikutip dari Antara.
Menurut Yusril, agenda pemulangan Hambali merupakan bentuk perhatian pemerintah terhadap warga Indonesia yang menghadapi kasus hukum di luar negeri. Ia mengatakan supaya masyarakat tahu bahwa pemerintah tidak hanya mengurusi narapidana asing yang ada di Indonesia, tetapi juga mengurusi WNI yang ada di luar negeri.
Namun, tampaknya pemerintah mulai gamang. Meski sebelumnya telah mengatakan pemerintah berupaya memulangkan Hambali, keputusan tersebut kata Yusril belum sepenuhnya diputuskan. Pernyataan itu Yusril sampaikan usai konferensi pers di Gedung Imigrasi, Kuningan, Jakarta Selatan pada Selasa, 21 Januari 2025.
“Sampai hari ini, kami belum sampai pada kesimpulan,” kata dia. “Jadi belum diputuskan kami minta dia ditransfer ke Indonesia.”
Pakar hukum tata negara ini mengatakan, pihaknya masih mempelajari dan menjajaki pemulangan Hambali ke Indonesia. Selain itu, kata dia, kementeriannya juga akan mengkoordinasikan hal ini dengan Kementerian Luar Negeri, Polri, TNI, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
“Sehingga nanti sampai pada suatu kesimpulan, seperti apa yang akan kami lakukan terhadap Hambali. Jadi jangan dianggap kami sudah mengambil keputusan untuk minta dia kembali, belum sampai ke tingkat itu.”
Yusril tak menampik bahwa ada masalah dari sisi hukum mengenai pemulangan Hambali. Masalah-masalah ini yang perlu didalami. Dia menjelaskan, Hambali terseret kasus Bom Bali pada 2002 silam. Menurut aturan hukum di Indonesia, suatu kasus yang diancam hukuman seumur hidup atau hukuman mati itu kedaluwarsa setelah 18 tahun.
Namun, menurut Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia era Presiden Megawati Soekarnoputri itu, kasus yang menyeret Hambali bukan hanya itu saja. Sehingga, Yusril mengatakan kejahatan-kejahatannya itu merupakan satu tindakan yang berlanjut. Bukan hanya tindakan di Bom Bali saja. Artinya, masih ada peluang untuk mengadili Hambali di Tanah Air.
“Kami akan tuntut, ya, mungkin dia dihukum mati juga di sini,” kata Yusril kepada wartawan, di gedung Kementerian Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Jakarta Selatan, pada Jumat, 24 Januari 2025.
Yusril pun menyadari soal kekhawatiran kembalinya bibit-bibit terorisme atas pemulangan Hambali ke tanah air. Namun, ia mengatakan pemerintah harus berlaku adil terhadap WNI yang berkonflik dengan hukum di luar negeri sehingga tidak bisa membiarkan Hambali di sana. “Saya kira kekhawatiran itu tentu kami hargai,” ujar dia.
Terkini, Yusril mengatakan pemerintah tidak akan menerima kembalinya Hambali. Politisi Partai Bulan Bintang itu mengatakan Indonesia menganut prinsip single citizenship. Dia menjelaskan berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, seseorang dapat kehilangan kewarganegaraan jika memperoleh citizenship negara lain atas kehendaknya sendiri.
Sehingga, kata dia, apabila Hambali secara sah memperoleh kewarganegaraan lain dan tidak pernah memohon agar kembali menjadi WNI, maka secara hukum dia bukan lagi WNI. Menurut Yusril, pemerintah berwenang menyangkal warga negara asing yang dianggap merugikan kepentingan negara untuk masuk ke wilayah NKRI.
“Dalam kasus Hambali, situasinya belum terang. Oleh karena itu, posisi pemerintah masih menunggu kejelasan status dan dokumen resminya,” kata dia.
Yusril pum menjelaskan perihal kerugian yang akan ditimbulkan Hambali jika ia kembali ke Indonesia. Hambali yang terlibat dalam Kasus Bom Bali 2002 yang menimbulkan banyak sekali korban. Selain Indonesia, luka yang cukup mendalam tersebut juga dialami oleh negara-negara tetangga terutama Australia. Apalagi, nerdasarkan hukum Indonesia, ia tak bisa diadili karena kasus sudah lebih dari 20 tahun.
“Berdasarkan hukum Indonesia, sebenarnya, kalau kejahatan itu diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, itu ada kedaluwarsanya. Kalau lebih 18 tahun, perkara itu sudah tidak bisa dituntut lagi,” kata Yusril Ihza saat ditemui di Jakarta pada Jumat malam, 17 Januari 2025, seperti dikutip dari Antara.