Liputan6.com, Jakarta Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) mengungkap bahwa kasus infeksi menular seksual (IMS) pada remaja usia 15-19 tahun mengalami peningkatan tiga tahun terakhir.
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes, dr. Ina Agustina Isturini, tingginya temuan kasus IMS pada remaja seiring dengan jumlah tes yang meningkat.
“Jadi, tahun 2022 tes dilakukan pada 85.574 orang, tahun 2023 (tes) meningkat hampir dua kali lipat, 158.378. Dan pada 2024 meningkat lagi 291.672. Kita lihat dari tren tesnya saja itu sudah meningkat,” kata Ina dalam temu media secara daring pada Jumat (20/6/2025).
“Jadi, sebenarnya bisa jadi ini memang fenomena gunung es yang mulai mencair, mulai ada kesadaran, orang sadar pentingnya melakukan tes IMS. Tes meningkat sehingga temuan kasus pun meningkat,” tambahnya.
Dari beberapa jenis IMS, Ina mengungkap bahwa kasus terbanyak yang tercatat adalah sifilis.
“Jumlah kasus IMS itu 4.589, di mana sekitar 48 persen di antaranya atau 2.191 itu adalah sifilis,” terangnya.
Sementara, kasus IMS pada remaja paling banyak ditemukan di kota-kota besar terutama di tiga provinsi.
“Secara umum memang kasus IMS banyak ditemukan di kota-kota besar ya untuk usia tersebut. Kota besar di tiga provinsi besar seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Bali itu cukup banyak,” paparnya.
Penderita HIV/AIDS masih terus berjuang melawan stigma dan diskriminasi dari masyarakat terhadap penyakit yang dideritanya. Sebagian orang masih mengangkat HIV/AIDS adalah penyakit yang menakutkan.
Cakupan Penanganan IMS pada Remaja
Ina menambahkan, cakupan pengobatan infeksi menular seksual cenderung lebih bagus ketimbang HIV.
“Cakupan pengobatan infeksi seksual menular ini sebenarnya lebih bagus ya dibandingkan HIV. Secara nasional sendiri sudah dua tahun berturut-turut cakupannya itu lebih dari 90 persen, jadi sudah cukup baik,” jelas Ina kepada Health Liputan6.com.
Ina setuju bahwa penanganan IMS pada remaja perlu melibatkan peran orangtua.
Guna meningkatkan kepatuhan saat berobat maka peran sebaya menjadi penting untuk memberi dukungan dan dorongan sekaligus menghilangkan stigma serta diskriminasi.
Penanganan IMS pada Remaja di Fasilitas Kesehatan
Dalam kesempatan yang sama, dokter subspesialis dermatologi venereologi dan estetika - venereologi, Hanny Nilasari, menjelaskan terkait penanganan kasus IMS pada remaja.
“Pada usia 15-19 tahun ini memang cukup sering datang ke kami sebagai fasilitas kesehatan tingkat lanjut. Kebetulan saya bertugas di faskes tingkat lanjut dan kalau pasien ini datang tentu dibawa berobat oleh orangtua,” ujar Hanny.
Maka dari itu, pendekatan penanganan HIV pada remaja tidak hanya pada remajanya sendiri tapi juga perlu komunikasi dengan orangtuanya.
“Kita harus berkomunikasi juga dengan orangtuanya sehingga tata laksana atau pengobatan bisa dilakukan secara sempurna dan secara komprehensif.”
Hanny menambahkan, anak usia 15 hingga 19 tahun masih tinggal bersama orangtua. Sehingga, tenaga kesehatan perlu hati-hati sekali dalam melakukan edukasi kepada orangtua dan memberikan keterangan dengan baik dan sempurna sehingga tidak terjadi miskomunikasi.
“Tentunya kalau koordinasi dengan orangtua bisa dilakukan dengan baik dan kemudian anaknya juga bisa diterima oleh orangtuanya dengan segala kekurangannya, maka tata laksana bisa berjalan lancar,” jelasnya.