TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mengkritik mekanisme anyar pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025. Menurut dia, sistem pengganti Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) ini tidak ada bedanya dengan sistem sebelumnya yang sarat akan masalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Buktinya, SPMB 2025 kembali diwarnai oleh protes dan kecurangan, karena banyak pihak berasa bahwa sistemnya masih belum berkeadilan untuk semua," ujar Ubaid melalui keterangan tertulis pada Jumat, 20 Juni 2025.
Dia mengatakan setidaknya ada tiga masalah sistemik yang menyebabkan permasalahan lama terus terjadi hingga hari ini. Pertama, sistem baru ala Menteri Pendidikan Dasar dan Menegah Abdul Mu'ti ini masih terjebak mengurusi soal perebutan kursi di sekolah negeri.
Ubaid menyebut hal itu terjadi karena pemerintah lebih fokus mengurusi seleksi murid yang akan menduduki sekolah negeri, alih-alih memperhatikan jalan keluar untuk murid-murid yang tidak akan tertampung karena keterbatasan kuota.
Ubaid memberikan perumpamaan rebutan kursi ini seperti kapasitas penumpang dalam muatan bus. "Kapasitas bus sudah jelas-jelas tidak muat, mengapa pemerintah hanya sibuk urus seleksi calon penumpang yang ingin naik bus? Padahal penumpang yang tidak tertampung jauh lebih banyak?” katanya.
Dalam konteks ini, masalah paling besar umumnya terjadi di jenjang SMA. Sebabnya, rata-rata daya tampung SMA Negeri di berbagai provinsi hanya 30 persen, sementara 70 persen sisanya terpaksa harus terpental ke sekolah swasta.
Perebutan sengit inilah yang membuat kasus jual beli kursi akan terus terjadi. "Ini mengikuti hukum pasar supply and demand. Semakin tinggi permintaan karena barang yang langka, maka semakin tinggi harga jual," katanya. Jika tidak dibenahi, kondisi ini berpotensi mengakibatkan tingginya angka putus sekolah di jenjang SMA dan rendahnya angka partisipasi sekolah.
Masalah sistemik kedua, JPPI menilai Permendikdasmen Nomor 3 Tahun 2025 masih sangat membingungkan, terutama terkait dengan penerapan jalur penerimaan. Misalnya, pada jalur domisili tingkat SMA, yang menjadi ukuran adalah kemampuan akademik, bukan jarak tempat tinggal ke sekolah. Keanehan serupa juga ditemukan pada jalur afirmasi yang ternyata malah mengukur jarak.
Sementara jalur domisili jenjang SD yang diukur malah usia. “Pusing bukan? Saya yang mengikuti tiap tahun saja pusing, apalagi orang tua,” kata Ubaid berkeluh kesah.
Terakhir, JPPI menyoroti ketidakpatuhan pemerintah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Pasal 34 ayat 2 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur sekolah tanpa dipungut biaya di SD dan SMP. Menurut JPPI, SPMB 2025 semestinya mengatur skema pembiayaan full gratis bagi calon murid yang masuk ke sekolah swasta karena terpental dari sekolah negeri.
Sayangnya, kata Ubaid, aturan SPMB 2025 tidak tegas mewajibkan pemerintah daerah untuk membiayai anak-anak di sekolah swasta. Adapun dalam Pasal 5 Peraturan Menteri itu Kementerian hanya menyinggung bahwa pemerintah daerah boleh memberikan bantuan pendidikan. "Hal ini menunjukkan rendahnya kemauan politik pemerintah dalam melindungi hak anak atas pendidikan," katanya.