TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyoroti pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 yang dinilainya masih bias terhadap prestasi akademik, meskipun secara aturan sudah tersedia jalur domisili atau zonasi. Menurut dia, sejumlah orang tua mengeluhkan kenyataan bahwa seleksi melalui jalur domisili tetap mempertimbangkan nilai akademik.
“Banyak keluhan dari orang tua. Ternyata jalur domisili tetap diukur berdasarkan nilai. Ini seperti domisili rasa prestasi,” kata Ubaid saat dihubungi Tempo, Selasa, 17 Juni 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menilai ketidakjelasan tersebut terjadi karena Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) No. 3 2025 tidak mengatur secara rinci mekanisme seleksi di jalur domisili. Padahal, dalam aturan sebelumnya, Permendikbud No. 1 tahun 2021 ditegaskan bahwa jalur zonasi tidak boleh mempertimbangkan prestasi akademik.
“Permendikdasmen yang sekarang, setahuku, tidak ada batasan itu. Bahkan, memang mengarah pada pemberian karpet merah kepada mereka yang berprestasi,” ujarnya.
Ubaid khawatir sistem pendidikan nasional justru sedang bergerak mundur ke pola lama yang mengedepankan kompetisi akademik dan mengabaikan prinsip pemerataan. Ia menyinggung rencana pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA) pada November 2025 yang disebut-sebut akan menjadi acuan masuk ke jenjang pendidikan berikutnya.
“Ini sejalan dengan rencana pelaksanaan TKA pengganti UN. Jadi, sebenarnya, kita ini perlahan-lahan akan balik ke sistem prestasi lagi. Pendidikan diutamakan hanya bagi mereka yang berprestasi,” kata Ubaid.
JPPI menilai tren ini bertolak belakang dengan semangat inklusi dan keadilan yang selama ini menjadi dasar pelaksanaan sistem zonasi sejak 2017. Jika tidak ada pengaturan tegas, ia khawatir pemerintah daerah akan menafsirkan aturan secara bebas, yang berujung pada praktik-praktik eksklusif dan diskriminatif dalam penerimaan murid baru.