TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menanggapi kritik atas ucapan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut peristiwa pemerkosaan massal pada 1998 hanya rumor.
Hasan mengatakan, masyarakat yang mengkritik harus mengetahui adanya kompetensi dalam menetapkan sebuah peristiwa menjadi penulisan sejarah. Tidak semua peristiwa sejarah dituliskan dalam penulisan sejarah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kita punya kompetensi dan literatur profesionalitas dalam menilai sebuah tulisan sejarah ada atau tidak? Dan tulisan sejarah tidak mungkin merangkum seluruh kejadian," kata dia dalam diskusi di Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta, Senin, 30 Juni 2025.
Hasan lantas mencontohkan sebuah peristiwa yang tidak dimasukkan dalam buku sejarah. Peristiwa itu yakni pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang memberikan Pekerja Seks Komersial (PSK) kepada tentara Jepang. Dia menyebut kejadian itu tidak masuk dalam sejarah.
"Ada enggak, dalam penulisan sejarah, kita dahulu di masa Jepang, pimpinan Putera menyediakan PSK terhadap penjajah. Ada enggak tulisan sejarah itu? Kejadian enggak? Kejadian! PSK dibawa dari karawang. Tapi dalam sejarah kita ditulis ga?" ujar Hasan.
Menurut Hasan, penulisan sejarah dilakukan atas berbagai pertimbangan. Salah satunya kebutuhan memetik pelajaran di masa lalu untuk membesarkan bangsa di masa datang.
"Ini pentingnya. Jadi pelajari informasi jangan diperpendek sumbu kesabaran kita. Kenapa? Media sosial sekarang memang gampang sekali kita menjadi penjaga kebenaran. Tapi kita belum mendalami masalah jadi begitu," ujar dia.
Hasan meyakini para sejarawan dari berbagai universitas yang menuliskan naskah sejarah tidak akan menggadaikan integritas akademiknya. Dia pun mengajak masyarakat untuk menunggu hasil kerja mereka.
"Ketergesa-gesaan ini juga bagian dari tekanan media sosial. Orang yang bekerja sekarang itu tidak boleh ditekan-tekan dengan opini media sosial yang buruk. Karena mereka sedang mengerjakan sesuatu berdasarkan kompetensi mereka," kata dia.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon sebelumnya menjelaskan ihwal maksud penulisan ulang sejarah kepada Uni Lubis. Ia mengatakan penulisan ulang sejarang bertujuan untuk mengklarifikasi rumor-rumor yang selama ini telah dianggap sebagai fakta sejarah. Politikus Partai Gerindra kemudian menjadikan peristiwa pemerkosaan massal sebagai contoh dari rumor yang ingin dia luruskan.
"Pemerkosaan massal kata siapa itu? Enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan, ada enggak di dalam buku sejarah itu?" kata Fadli Zon dalam wawancara yang ditayangkan di siaran YouTube media IDN Time pada Rabu, 11 Juni 2025. IDN Time mengizinkan Tempo mengutip wawancara tersebut.
Sontak pernyataan tersebut menuai kecaman. Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menilai pernyataan Fadli sebagai bentuk manipulasi terhadap masyarakat Indonesia dan meremehkan kekerasan atas perempuan.
"Kami menilai pernyataan tersebut merupakan bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi," kata perwakilan koalisi, Jane Rosalina Rumpia, melalui keterangan tertulis pada Sabtu, 14 Juni 2025.
Menurut Jane, pernyataan Fadli Zon justru melenyapkan jejak-jejak pencarian fakta mengenai kasus-kasus pemerkosaan yang terjadi pada 1998. Pemerintah melalui Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah memiliki dokumentasi dan hasil penyelidikan. TGPF mencatat pada 1998 adanya kekerasan seksual yang menargetkan perempuan, khususnya perempuan Indonesia- Tionghoa.
Adapun Fadli Zon kemudian menjelaskan bahwa kerusuhan 13-14 Mei 1998 memang menimbulkan sejumlah silang pendapat dan beragam perspektif, termasuk ada atau tidak adanya perkosaan massal. Bahkan, kata Fadli, liputan investigatif majalah terkemuka tak dapat mengungkap fakta-fakta kuat soal pemerkosaan massal ini.
Fadli juga menyebut laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) saat itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku. Menurut dia, perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa. Sehingga sampai kita mempermalukan nama bangsa sendiri.
“Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian ataupun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998,” kata Fadli Zon dalam keterangan tertulisnya pada Kamis, 19 Juni 2025.
Sebaliknya, kata Fadli, segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan