TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi memutuskan lima dari sepuluh gugatan uji formil dan materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI berlanjut ke tahap pembuktian. Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan, lima gugatan yang dimaksud adalah pada perkara Nomor 45, 56, 69, 75, dan 81/PUU-XXIII/2025 yang diajukan mahasiswa dan koalisi masyarakat sipil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Perkara dibawa dalam sidang pleno lanjutan untuk mendengar keterangan pemerintah dan DPR," kata Suhartoyo sebelum menutup sidang pembacaan putusan pada Kamis, 5 Juni 2025.
Ia mengatakan, kelima perkara itu akan disidangkan pada 23 Juni 2025. Karenanya, dia meminta agar DPR dan pemerintah dapat mempersiapkan seluruh hal yang berkaitan dengan perkara gugatan ini.
Dalam sidang pembacaan putusan, Kamis lalu, Mahkamah memutuskan menolak lima gugatan uji formil UU TNI. Alasannya, kedudukan hukum pemohon dan dugaan pembuktian terkait kerugian konstitusi tidak dapat diuraikan.
Lima perkara yang ditolak, antara lain pada perkara nomor 55/PUU-XXIII-2025 yang diajukan masyarakat sipil; perkara nomor 58/PUU-XXIII/2025 mahasiswa FH Universitas Internasional Batam; dan perkara nomor 66/PUU-XXIII/2025 yang diajukan mahasiswa FH Universitas Pamulang.
Kemudian, perkara nomor 79/PUU-XXIII/2023 yang diajukan mahasiswa FH Brawijaya; serta perkara nomor 74/PUU-XXIII/2025 yang diajukan mahasiswa FH Universitas Islam Indonesia.
Satu gugatan serupa pada perkara nomor 57/PUU-XXIII/2025 yang diajukan mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, tidak dilanjutkan karena pemohon mencabut permohonan.
Sedangkan gugatan yang berlanjut, adalah yang diajukan mahasiswa FH Universitas Indonesia; mahasiswa FH Universitas Padjajaran; mahasiswa FH Universitas Gadjah Mada; serta Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.
Kuasa hukum mahasiswa FH Universitas Indonesia Abu Rizal Biladina mengatakan, gugatan uji formil UU TNI dilayangkan lantaran proses pembentukkannya yang dinilai inskonstitusional.
"Proses pembentukkannya sangat janggal dan tergesa-gesa," kata Rizal saat ditemui Tempo di gedung Mahkamah Konstitusi, Jumat, 21 Maret 2025.
Kejanggalan itu, kata dia, dapat dilihat pada bagaimana DPR mengabaikan tata cara pembentukkan dan penyusunan aturan perundang-undangan.
Menurut dia, dalam proses pembentukkan aturan perundang-undangan telah diamanatkan oleh Undang-Undang tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan atau P3 untuk mematuhi azas-azas yang berlaku.
Azas tersebut, Rizal mengatakan, adalah azas keterbukaan yang dalam hal ini tidak dapat dilaksanakan oleh DPR dalam pembahasan revisi UU TNI, Maret lalu.
"DPR tidak memberikan atau mempublikasikan naskah akademis sebelum UU ini disahkan, sehingga jelas ini adalah bentuk pelanggaran," ujar dia.
Adapun, Inayah Wulandari Wahid yang menjadi salah satu pemohon gugatan uji formil UU TNI menjelaskan, alasan keterlibatannya dengan koalisi masyarakat sipil dalam gugatan ini.
"Secara fundamental, mempertahankan supremasi sipil adalah legacy Gus Dur," kata Inayah saat dihubungi Tempo, Selasa, 13 Mei 2025.
Inayah merupakan putri bungsu mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Bersama mantan Koordinator Kontras Fatiah Maulidiyanti dan mahasiswi bernama Eva Nurcahyani, ia mewakili gugatan Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Kontras, dan Imparsial.
Ia menjelaskan, saat Gus Dur menjabat sebagai presiden, ia menjadi salah satu figur yang memisahkan antara kehidupan sipil dan militer.
Pun, kata Inayah, pemisahan antara sipil dan militer yang dilakukan Gus Dur tidak dilakukan tanpa sebab. Gus Dur, menurut dia, memahami negara dengan sistem pemerintahan demokrasi tidak menggunakan militer sebagai alat kekuasaan.
"Negara demokrasi jelas harus berpijak pada supremasi sipil," ujar dia.
Gugatan Koalisi Masyarakat Sipil dimohonkan kepada Mahkamah pada Rabu, 7 Mei 2025. Alasannya, pembahasan revisi UU TNI melanggar prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan dengan baik.
Wakil Ketua Mahkamah Saldi Isra menyebut, UU TNI yang telah disahkan DPR pada 20 Maret lalu, menjadi UU yang paling banyak diajukan gugatan uji formil dan materiil.