TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi II DPR Muhammad Rifqinizamy Karyasuda mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum di nasional dan daerah kontradiktif dengan putusan sebelumnya. Rifqi mengatakan seharusnya MK konsisten dengan putusan perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang memberi DPR wewenang untuk menentukan model keserentakan pemilu.
Putusan MK itu dianggap telah mengambil alih tugas pembuat Undang-undang. "Tetapi Mahkamah Konstitusi sendiri yang kemudian menetapkan salah satu model (pemilu) ini," ujarnya saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Senin, 30 Juni 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rifqi menekankan bahwa MK bertugas untuk menguji undang-undang bukan menghasilkan norma sendiri. Sehingga ia menyebut putusan MK itu akan mencederai proses demokrasi dan membuat Indonesia tak bisa menjadi negara hukum yang baik.
Permasalahan lain menurut Rifqi ialah tindak lanjut terhadap putusan MK akan terkendala persoalan yuridis karena bertentangan dengan aturan. Terutama Undang-Undang Dasar 1945. Ia menyebutkan, bahwa dalam UUD diamanatkan bahwa pemilihan kepala daerah baik itu gubernur, bupati, atau wali kota dilakukan secara demokratis.
Akan tetapi dengan putusan tersebut, maka MK dianggap membatasi metode pemilihan kepala daerah hanya melalui pemilihan umum. Selain itu, ia juga menyoroti permasalahan jangka waktu pelaksanaan pemilu yang seharusnya digelar setiap 5 tahun sekali. Namun, dengan menyingkirkan kotak pemilu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sejak 2029, maka pelaksanaan pilkada akan mundur hingga 7 tahun.
Berdasarkan situasi yang kompleks itu, saat ini DPR belum memutuskan sikap resmi untuk merespons putusan MK. "Betul-betul kami kaji kali ini. Karena kami juga tidak mau sekonyong-konyong melaksanakan tapi kemudian justru dalam pelaksanaan itu kami berpotensi melanggar aturan," tutur politikus Partai NasDem itu.
Hari ini sejak pukul 10.00 hingga 11.00 WIB, Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Gerindra mengumpulkan pimpinan Komisi II dan Komisi III untuk mendiskusikan masalah ini. Pertemuan secara tertutup itu juga dihadiri pimpinan Badan Legislasi, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Rifqi mengatakan DPR meminta waktu untuk mendalami putusan MK yang bersifat final dan mengikat tersebut. Ia menjanjikan keputusan DPR akan mengacu pada konstitusi. "DPR ini kan juga banyak pakar hukum, banyak orang yang mengerti tentang teori-teori konstitusi. Jadi izinkan kami juga sedang mempelajarinya Untuk kebaikan kita semua."
Pada Kamis, 26 Juni 2025, MK memutuskan penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional harus dilakukan terpisah dengan penyelenggaraan pemilu tingkat daerah atau kota (pemilu lokal). MK memutuskan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
Pemilu nasional adalah pemilu anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden, sementara pemilu lokal terdiri atas pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah.
Dengan putusan itu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029. “Penentuan keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilu berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan pemilu nasional yang berdekatan dengan pemilu lokal menyebabkan minimnya waktu bagi masyarakat menilai kinerja pemerintahan dalam hasil pemilu nasional. Dalam rentang waktu yang sempit itu, hakim menilai pelaksanaan pemilu yang serentak menyebabkan masalah pembangunan daerah cenderung tenggelam di tengah isu nasional.
Dede Leni Mardianti berkontribusi dalam tulisan ini.