TEMPO.CO, Jakarta - Memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Bhayangkara yang ke-79, institusi kepolisian tidak bisa lepas dari sosok Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau Kapolri ke-5 Hoegeng Iman Santoso, yang menjabat pada 1968 hingga 1971. Ia dikenal sebagai pribadi yang jujur dan berintegritas.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memberikan pujian kepada Jenderal (Purn) Hoegeng, yang dianggap sebagai sosok panutan karena memegang teguh prinsip hidupnya. Dikenal jujur, sederhana, tidak kompromi, dan penuh integritas, Hoegeng dinilai layak menjadi teladan bagi seluruh anggota Polri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kapolri menyatakan bahwa keteladanan Hoegeng tetap relevan hingga saat ini dan dijadikan acuan dalam kepemimpinan di tubuh Polri. Ia menekankan pentingnya menanamkan nilai-nilai Hoegeng pada setiap anggota Bhayangkara, baik di tingkat pimpinan maupun pelaksana, bahkan bagi masyarakat umum.
“Nilai-nilai yang diteladankan Jenderal Hoegeng menjadi sumber inspirasi, bukan hanya bagi Polri, tetapi juga bagi masyarakat luas,” ujar Kapolri sebagaimana dimuat di humas.polri.go.id, Selasa, 26 Oktober 2021.
Berikut prinsip kejujuran Hoegeng yang patut dicontoh oleh personel kepolisian hingga pejabat negara.
Tidak Menerima Suap
Aditya Sutanto Hoegeng, anak kedua dari Jenderal Hoegeng, mengisahkan pengalaman ibunya, Meriyati, yang menerima telepon dari istri mantan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani, Sihwati Nawangwulan. Ia melaporkan kehilangan mobil Mercedes Benz miliknya, namun pihak kepolisian belum juga menemukannya.
Meriyati pun menyampaikan keluhan itu kepada Hoegeng. Kurang dari satu minggu, mobil tersebut berhasil ditemukan di Sukabumi, Jawa Barat. Ketika Hoegeng pulang kerja, Meriyati memberi tahu bahwa Sihwati telah mengirim kalung emas seberat 5 gram sebagai bentuk terima kasih.
Aditya, yang akrab disapa Didit, mengatakan bahwa ayahnya langsung menelepon Sihwati untuk mengucapkan terima kasih, namun dengan sopan menolak pemberian itu. “Maaf, kalungnya akan kami kembalikan,” ujar Didit mengutip ayahnya dalam laporan Majalah Tempo edisi 14 Agustus 2021.
Selain itu, Hoegeng juga pernah menolak suap dari seorang pengusaha yang berupaya menghentikan penyelidikan kasus penyelundupan. Pengusaha tersebut bahkan mengirimkan hadiah berupa berbagai barang ke rumah Hoegeng, namun semuanya ditolak dan dikembalikan.
Ketika ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Imigrasi, Hoegeng meminta istrinya menutup toko bunga miliknya. Ia tidak ingin ada potensi konflik kepentingan, seperti pembelian bunga oleh pihak imigrasi yang bermaksud mencari keuntungan lewat koneksi dengan dirinya.
Konsisten Perkataan dan Perbuatan
Hoegeng selalu mengingatkan bahwa polisi tidak boleh bisa dibeli. Sejak menjabat sebagai perwira di Sumatera Utara, ia telah dikenal karena sikap jujur dan keberaniannya. Ia menolak menerima suap dalam bentuk apa pun, bahkan hadiah dari para penjudi pun langsung disingkirkan dari rumahnya.
Salah satu ungkapan terkenalnya adalah, “Menjadi orang penting itu baik, tapi menjadi orang baik jauh lebih penting.”
Tidak Menyalahgunakan Jabatan
Dikutip dari djpb.kemenkeu.go.id, saat Hoegeng diangkat menjadi Kepala Direktorat Reserse dan Kriminal Polda Sumatera Utara pada 1965, ia dan keluarganya menghadapi kejutan besar. Karena rumah dinas masih ditempati oleh pejabat sebelumnya, Hoegeng dan keluarganya memilih tinggal sementara di Hotel De Boer.
Namun, saat tiba waktunya untuk menempati rumah dinas, mereka dikejutkan dengan kondisi rumah yang telah diisi berbagai barang mewah. Hoegeng menolak untuk tinggal di sana selama barang-barang tersebut belum dikeluarkan. Ia menegaskan hanya akan pindah jika rumah itu kembali diisi dengan perabotan inventaris resmi kantor.
Alasannya jelas,ia dan keluarganya baru saja pindah dan belum mengenal siapa pun di wilayah tersebut, sehingga tak ingin ada kesan buruk sejak awal.
Setia terhadap Hukum dan Kebenaran
Pada awal 1970-an, ganja asal Aceh sedang digandrungi para pemuda Jakarta. Hoegeng awalnya tidak mengetahui bahwa ganja termasuk dalam kategori tanaman terlarang. Ia baru menyadari ganja tergolong narkotika setelah menghadiri konferensi Interpol di Eropa pada 1971.
“Saya kira marijuana hanya bumbu yang biasa dipakai orang Aceh dalam gulainya,” kata Hoegeng, dikutip dari Majalah Tempo edisi 14 Agutsus 2021: Hoegeng Bukan Dongeng.
Setelah kembali ke Indonesia, Hoegeng langsung mengambil langkah tegas dengan menyelidiki penyalahgunaan ganja. Ia mengerahkan anak buahnya ke berbagai wilayah Jakarta untuk mengidentifikasi tempat-tempat para pemuda mengisap ganja.
Hoegeng sendiri juga turun langsung ke lapangan dengan menyamar sebagai anggota komunitas hippies, yang saat itu dikenal dekat dengan penggunaan narkotika. Ia mengenakan wig panjang, kemeja bermotif bunga, dan syal di leher untuk mendukung penyamarannya.
Dalam aksi itu, Hoegeng menemukan ganja diselundupkan lewat tukang rokok. Ia bahkan berbaur dengan pemuda-pemuda, berpura-pura ikut mengisap rokok linting dan tampak teler.
Dari penyamarannya, ia menemukan bahwa sebagian pemuda menggunakan ganja untuk pelarian dari masalah pribadi, sementara sebagian lain hanya ikut-ikutan. Ia juga mencatat bahwa para pengguna berasal dari berbagai latar belakang, termasuk dari keluarga broken home maupun keluarga terpandang.
Dalam salah satu penggerebekannya, Hoegeng bahkan menemukan anak seorang menteri sedang mengisap ganja. Ia pun menangkap dan melaporkan langsung kepada sang menteri, namun tidak langsung menahan anak itu. Ia hanya memperingatkan dengan tegas bahwa jika tidak ada perubahan perilaku, maka tindakan hukum akan diambil.