TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto resmi mengambil alih penanganan sengketa pulau, yakni empat pulau yang melibatkan Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut).
Langkah ini diambil setelah polemik semakin memanas menyusul terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang sebagai bagian dari wilayah administratif Tapanuli Tengah, Sumut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berikut sejumlah reaksi berbagai pihak atas Presiden Prabowo turun tangan mengambil alih penanganan sengketa pulau antara Aceh dan Sumut.
1. Polemik Mencuat Usai Terbitnya Kepmendagri
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan Kepmendagri itu telah melewati kajian letak geografis dan pertimbangan keputusan yang melibatkan berbagai instansi. Tito menyebutkan Kementerian Dalam Negeri harus menetapkan batas wilayah empat pulau tersebut karena berkaitan dengan penamaan pulau yang harus didaftarkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa..
“Kami terbuka terhadap evaluasi atau gugatan hukum, termasuk ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Silakan saja,” kata Tito di Istana Kepresidenan pada Selasa, 10 Juni 2025.
2. Sufmi Dasco Ahmad: Prabowo Ambil Alih Hindari Konflik Berkepanjangan
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyatakan, keputusan Presiden Prabowo untuk turun langsung diambil agar konflik tidak berlarut dan menghindari potensi instabilitas. Prabowo menargetkan keputusan dapat diselesaikan dalam pekan ini
“Hasil komunikasi DPR RI dengan Presiden bahwa Presiden mengambil alih persoalan batas pulau yang menjadi dinamika antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara,” kata Dasco dalam keterangan tertulisnya pada Ahad, 15 Juni 2025..
3. Golkar dan Lemhannas Dukung Langkah Prabowo
Sekjen Golkar Muhammad Sarmuji menyatakan keyakinannya bahwa Prabowo akan mengacu pada fakta sejarah dan sosiologis.
“Kami yakin Presiden akan memutuskan ini berdasarkan fakta-fakta sejarah, kedekatan sosiologis, kedekatan geografis yang mudah-mudahan keputusan Presiden bisa diterima semua pihak,” ujar Sarmuji saat ditemui di ruangan Fraksi Golkar, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 16 Juni 2025.
Sementara Gubernur Lemhannas, Ace Hasan Syadzily, menyebut akan memberi masukan berbasis hukum kepada Presiden demi keputusan yang adil.
“Pada saatnya, kami akan memberikan masukan, tapi intinya kita harus berangkat dari peraturan yang berlaku sehingga tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangan dan tidak menimbulkan konflik perbatasan antardaerah,” kata Ace setelah menghadiri agenda di Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi di Jakarta, Senin.
4. Rieke Diah Pitaloka: Kepmendagri Langgar Perjanjian Helsinki
Anggota DPR dari PDIP, Rieke Diah Pitaloka, menilai Kepmendagri bertentangan dengan UU No. 24 Tahun 1956 dan poin Perjanjian Helsinki 2005 yang menyatakan wilayah Aceh mencakup Singkil dan seluruh pulaunya. Ia menyarankan revisi UU untuk menguatkan kedudukan Aceh.
“Provinsi Aceh lahir berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956. Undang-Undang ini menjadi pijakan pula Perjanjian Helsinki 15 Agustus 2005. Poin 1.1.4 menegaskan batas wilayah Aceh meliputi seluruh wilayah Keresidenan Aceh, termasuk wilayah Singkil dan pulau-pulaunya,” kata Rieke dalam keterangannya di Jakarta, Senin, seperti dikutip dari Antara.
5. KKR Aceh Minta Pendekatan Berdamai
Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Masthur Yahya, mengkritik pendekatan administratif yang tidak sensitif terhadap trauma masa lalu. Ia menekankan pentingnya dialog terbuka dan menjamin rekonsiliasi berkelanjutan sebagai bagian dari proses damai Aceh.
“Ini menyentuh urat sensitif sejarah dan identitas masyarakat Aceh yang sedang menumbuhkembangkan rasa saling percaya pascakonflik,” ujar Masthur dalam keterangannya kepada Tempo di Banda Aceh pada Jumat, 13 Juni 2025.
6. Awal Mula Sengketa Empat Pulau Aceh
Sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara akhirnya mencapai titik terang setelah Mendagri Tito Karnavian menetapkan Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang secara administratif masuk wilayah Sumut. Tito menjelaskan bahwa konflik ini telah berlangsung sejak 1928 dan telah melalui banyak kajian serta rapat lintas instansi.
Dirjen Adwil Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, menuturkan sengketa pulau bermula dari proses standarisasi nama pulau tahun 2008. Saat itu, keempat pulau tersebut tercatat oleh tim Sumut, namun tidak tercantum dalam daftar pulau Aceh. Pada 2009, Aceh mengusulkan perubahan nama dan koordinat pulau-pulau itu. Karena tak ada kesepakatan antardaerah, keputusan akhirnya diserahkan ke Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi.
Sapto Yunus, Dian Rahma Fika, dan Rizki Dewi Ayu berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Kemendagri Temukan Bukti Baru Sengketa Empat Pulau Aceh