TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kebudayaan Fadli Zon dihujani kritik dari publik setelah menyebut peristiwa pemerkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998 hanyalah rumor. Menurut dia, cerita tentang pemerkosaan pada tragedi 27 tahun silam itu tidak memiliki bukti yang cukup untuk ditulis dalam sejarah resmi Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pemerkosaan massal kata siapa itu? Enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan, ada enggak di dalam buku sejarah itu?" kata Fadli Zon dalam wawancaranya bersama jurnalis senior IDN Times Uni Lubis, dikutip dari siaran YouTube media tersebut pada Rabu, 11 Juni 2025.
Pernyataan Fadli Zon seolah membuka kenangan lama ihwal peristiwa kerusuhan Mei 1998 tersebut. Tempo beberapa kali menerbitkan laporan tentang peristiwa Mei 1998. Salah satunya artikel tentang cerita para korban pemerkosaan 1998 yang terbit pada 18 Mei 2003.
Dalam artikel itu, Tempo mendapat kesaksian langsung dari korban hingga orang yang menolong para korban pemerkosaan tersebut. Misalnya, cerita dari Nyonya Wati--nama samaran, pendamping beberapa korban pemerkosaan Mei 1998.
Perempuan yang berprofesi sebagai penjual kue ini bercerita pernah menolong seorang korban pemerkosaan dari etnis Tionghoa bernama Lina (bukan nama asli). Saat kejadian, usia Lina baru 14 tahun.
Wati bercerita, kala itu pada 14 Mei 1998 siang, Lina baru pulang dari sekolahnya. Keseharian pelajar seusai sekolah itu membantu ibunya menyiapkan kue untuk dijual ke warung.
Dalam perjalanan menuju warung, tiba-tiba gadis itu dihadang sejumlah massa kerusuhan Mei 1998. Lina berusaha lari ke rumahnya untuk menghindari gerombolan pria tersebut.
"Tapi belasan lelaki mengejarnya. Lina lalu dilecehkan beramai-ramai," kata Wati dalam laporan Tempo berjudul Hidup yang Terenggut: Cerita Para Korban Pemerkosaan Mei 1998.
Pemerkosaan yang dialami Lina membuatnya terguncang. Lina disebut mengalami trauma ketakutan ketika melihat lelaki. Tak berhenti sampai di situ, aksi keji yang dialami Lina membuatnya hamil.
Wati bercerita, keluarga memutuskan untuk menggugurkan si jabang bayi yang berada di perut Lina. Keputusan itu diambil setelah berkonsultasi dengan dokter dan rohaniwan. Dua tahun setelah peristiwa pemerkosaan tersebut, Lina diboyong tantenya ke Taiwan.
Wati mengatakan, remaja yang rajin membantu ibunya berjualan kue itu kini telah pulih setelah menjalani terapi intensif. Wati juga mendapat kabar pada 2001, bahwa Lina telah menikah.
Cerita lain datang dari Dini (nama samaran), yang menjadi korban pemerkosaan Mei 1998. Usianya saat kejadian baru menyentuh 29 tahun. Dini bercerita kepada Tempo, bahwa ia telah diperkosa oleh tiga lelaki tegap berambut cepak pada 15 Mei 1998 silam.
Kejadian bermula saat Dini baru saja pulang dari kantornya di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat. Dini tengah menunggu bus. Tiba-tiba satu unit taksi berhenti di depannya.
Seorang pria yang turun dari taksi itu mendorong Dini masuk sambil menodongkan belati. Taksi melaju menjemput dua orang berkaus hitam. Dini ketakutan diapit orang tak dikenal itu.
"Aku takut sekali. Mereka tertawa-tawa, saling bercerita telah memperkosa perempuan-perempuan Cina di Glodok dan Tangerang," ujar Dini kepada Tempo, dalam artikel yang terbit pada 18 Mei 2003.
Dini menduga dibawa ke arah Bekasi. Taksi itu kemudian berhenti di daerah persawahan yang sepi. Dini bercerita, ia dibawa keluar dan ditelanjangi oleh sejumlah pria tersebut. Ketika itu ia langsung pingsan.
Dini baru siuman menjelang subuh. Sekujur badannya dirasakan sakit, bagian pangkal pahanya juga mengalami nyeri. Dini tak mampu menahan tangisnya, menyadari bahwa telah diperkosa oleh pria pada saat kerusuhan Mei 1998 tersebut.
Dua kisah itu hanya segelintir dari sekian banyaknya kasus pemerkosaan yang terjadi pada Mei 1998. Dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta yang dirilis pada 18 Oktober 1998, setidaknya terjadi 92 kasus pemerkosaan dan penganiayaan seksual dalam tragedi kerusuhan tersebut.
Laporan selengkapnya tentang cerita para korban pemerkosaan Mei 1998 dapat dibaca di sini.