TEMPO.CO, Jakarta - Lima belas Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang tersebar di Yogyakarta dan Jawa Tengah mengirim surat protes kepada pengurus BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) Kerakyatan menyusul empat BEM yang keluar dari aliansi setelah Musyawarah Nasional di Universitas Dharma Andalas, Padang yang berlangsung pada 13-19 Juli 2025.
Surat itu menyoroti tindakan kekerasan dalam forum, praktek politik praktis, dan kedekatan dengan elite kekuasaan yang mereka nilai mencederai independensi BEM SI Kerakyatan. Lima belas BEM itu terdiri dari BEM Soegijapranata Catholic University, Universitas Sanata Dharma, Universitas Muhammadiyah Kudus, Universitas PGRI Semarang, Universitas Muria Kudus, Universitas Semarang, Universitas Wahid Hasyim, Universitas Pembangunan Nasional, Universitas Negeri Semarang, Universitas Amikom Yogyakarta, Universitas Wijaya Kusuma Purwokerto, Universitas Respati Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Slamet Riyadi, Sekolah Tinggi Multi Media Yogyakarta.
Ketua lima belas BEM itu membubuhkan tanda tangan beserta kop BEM masing-masing melalui surat tertanggal 26 Juli 2025. Surat protes ramai-ramai ini digagas Ketua BEM Soegijapranata Catholic University Ariendra Wirya Prananda dan Ketua BEM Universitas Muria Kudus Abdullah In’am Maulana selaku Ketua BEM Universitas Muria Kudus.
“Kami menuntut pemulihan integritas BEM SI Kerakyatan dan mendorong kembalinya semangat kemahasiswaan yang murni dan progresif,” kata Ketua BEM Soegijapranata Catholic University, Ariendra Wirya Prananda melalui siaran pers yang dikirim melalui pesan WhatsApp pada Ahad, 27 Juli 2025.
Menurut dia, lima belas BEM itu menilai Munas telah menyimpang dari nilai-nilai demokrasi yang seharusnya menjadi dasar gerakan mahasiswa. Mereka mendesak Koordinator Pusat BEM SI Kerakyatan memberikan sanksi kepada pihak yang terbukti melakukan kekerasan, mengevaluasi pelanggaran standar operasional prosedur atau SOP Munas, dan pemulihan marwah organisasi agar tetap menjadi ruang perjuangan mahasiswa yang sehat, kritis, dan berintegritas.
Tidak seperti empat BEM lainnya yang menyatakan keluar dari aliansi BEM SI Kerakyatan, lima belas BEM ini menunggu terlebih dahulu surat balasan yang mereka kirim ke BEM SI Kerakyatan. “Menuntut Koordinator Pusat BEM SI Kerakyatan memberikan tanggapan dalam jangka waktu 7 hari sejak pernyataan ini dibuat,” kata dia.
Dua inisiator surat protes itu menyerahkan sepenuhnya keputusan setiap BEM untuk keluar atau bergabung dengan BEM SI Kerakyatan. Sebelumnya, empat BEM yang menyatakan mundur yakni BEM Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Tanjungpura, dan Universitas Sultan Agung.
Mereka kecewa karena gerakan mahasiswa tersebut mengundang politikus, pejabat daerah, polisi, dan pejabat BIN daerah. Forum itu menghadirkan Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia atau Perindo, Menteri Pemuda dan Olahraga, Wakil Gubernur Sumatera Barat, Kepala Kepolisian Daerah Sumbar, dan Badan Intelijen Negara Daerah atau BIN Daerah.
Munas itu juga menerima karangan bunga bertuliskan selamat dan sukses dari Kepala BIN Daerah Sumatera Barat. Kedatangan elit politik dan aparat keamanan itu mereka nilai mencederai independensi gerakan mahasiswa.
Ketua BEM KM UGM Tiyo Ardianto menilai keterlibatan para pejabat di forum Munas mencederai independensi mahasiswa. “Kami ingin menjaga independensi gerakan,” ujar Tiyo saat dihubungi oleh Tempo, pada Senin, 21 Juli 2025.
Panitia Munas BEM SI Kerakyatan, Rifaldi, mengatakan kehadiran pejabat negara merupakan bagian dari seremoni pembukaan yang diinisiasi oleh Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Sumatera Barat. Ia menegaskan bahwa undangan tersebut bersifat teknis dan tidak memengaruhi independensi gerakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami berkomitmen itu tidak ganggu independensi kami untuk mengkritik kekuasaan,” kata Rifaldi.
Koordinator Media BEM SI Kerakyatan, Pasha Fazillah Afap, menyebut fenomena keluar-masuknya BEM dari aliansi sebagai dinamika yang lazim. "Hal ini telah terjadi berulang kali sepanjang sejarah aliansi," kata Pasha dalam keterangannya pada Rabu, 23 Juli 2025.
Pasha menilai perbedaan pandangan dalam gerakan mahasiswa adalah hal wajar selama dilakukan dengan itikad baik dan bukan untuk membentuk opini publik yang menyesatkan.
Eka Yudha Saputra dan Novali berkontribusi dalam penulisan artikel ini