TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengkritik draf revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP. Kritik dilayangkan dalam diskusi publik bertajuk Revisi KUHAP dan Jaminan Hak Asasi Manusia di Hotel Sofyan, Jakarta Pusat, Jumat, 18 Juli 2025.
Pilihan editor: Kisaran Biaya Politik Calon Kepala Daerah
Acara tersebut diselenggarakan oleh Pusat Data dan Informasi HAM bekerja sama dengan Ikatan Wartawan Hukum. Menurut dia, rancangan tersebut justru memberi ruang aman bagi pelaku kejahatan dan aparat penegak hukum, bukan korban. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga menyoroti minimnya perlindungan terhadap korban serta potensi pelanggaran hak asasi.
"Yang terlihat dalam KUHAP ini adalah KUHAP-nya antikorban. KUHAP ini tidak berpihak pada korban," kata Isnur dalam diskusi tersebut. Ia menyebut rancangan tersebut tidak memberikan ruang perlindungan yang memadai bagi masyarakat sipil, khususnya mereka yang menjadi korban kekerasan atau pelanggaran hukum.
Isnur menilai rancangan regulasi tersebut sebagai bentuk pengecualian yang menciptakan impunitas dan mempersempit partisipasi publik dalam pengawasan hukum. "Bagaimana dengan orang-orang yang tidak tahu hukum? Korban yang takut datang ke kantor polisi dan baru bisa bicara ke LSM atau media. Ini KUHAP untuk siapa? Untuk pelaku, bukan korban," tegasnya.
Ketua Komnas HAM Anis Hidayah mendukung kritik tersebut. Ia menyebut RUU KUHAP belum cukup mengakomodasi prinsip nondiskriminasi dan perlindungan korban, terutama kelompok rentan. "Jangan sampai ketika KUHAP disahkan justru menimbulkan problem yang sangat serius terhadap akses keadilan korban," kata Anis, dalam forum yang sama.
Anis juga menyoroti absennya pasal soal penyiksaan dalam proses penyidikan. "Di KUHAP tidak dijelaskan tentang bagaimana penyiksaan ini akan diproses secara hukum. Padahal kalau kita melihat konvensi antipenyiksaan, setiap bentuk penyiksaan harus dikecualikan sebagai alat bukti," ujarnya. Komnas HAM mencatat setidaknya ada 11 klaster yang harus diubah, mulai dari pengawasan penangkapan hingga penguatan bantuan hukum.
YLBHI juga menyoroti pasal kontroversial lain seperti undercover buy dan controlled delivery yang dinilai bisa menjebak masyarakat dalam proses hukum yang tidak adil. "Jebakan-jebakan seperti itu yang akhirnya menjadikan masyarakat sebagai korban dari proses peradilan," kata Isnur.
Sementara itu, Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Mugiyanto, dalam forum yang sama mengklaim bahwa pemerintah tetap terbuka terhadap perbaikan substansi. "Masukan perbaikan akan kita sampaikan secara terus-menerus,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya partisipasi bermakna atau meaningful participation. “Tidak hanya didengarkan atau dihadirkan, tapi lebih dari itu," kata dia.
Namun Isnur menganggap partisipasi itu masih sebatas formalitas. "Apakah masukan itu dibakar, dijadikan dasar untuk mengubah secara strategis, atau hanya utak-atik kata?" sindirnya. Ia menggarisbawahi bahwa perbaikan substansi belum terlihat jelas, dan hanya menyentuh hal-hal administratif.
Anggota Komisi III DPR RI, Hasbiallah Ilyas, memastikan bahwa parlemen akan mengawal revisi KUHAP agar tidak menyimpang dari prinsip hak asasi manusia. "Kami akan terus pantau dan pastikan revisi ini tidak menyimpang," katanya, dalam forum yang sama.
Pilihan editor: Alasan Golkar Bilang Moratorium IKN Belum Perlu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini