TEMPO.CO, Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengecam rencana TNI Angkatan Darat (AD) merekrut 24 ribu tamtama guna membentuk batalyon teritorial pembangunan. Rencana itu diumumkan Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigadir Jenderal Wahyu Yudhayana pada 4 Juni 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam keterangannya kepada awak media, Wahyu menjelaskan bahwa pasukan yang direkrut bukan untuk kepentingan tempur, melainkan akan difokuskan pada kegiatan seperti ketahanan pangan dan pelayanan kesehatan. Koalisi memandang kebijakan ini menyimpang dari mandat utama TNI sebagai alat pertahanan negara sebagaimana yang diatur dalam konstitusi dan Undang-Undang TNI.
“TNI direkrut, dilatih, dan dididik untuk perang. Bukan untuk mengurus urusan-urusan di luar perang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, maupun pelayanan kesehatan,” ujar koalisi dalam pernyataan pers pada Senin, 9 Juni 2025.
Koalisi menyebut perekrutan dan pelibatan TNI dalam urusan pertanian, perkebunan, peternakan, dan pelayanan kesehatan sebagai bentuk kegagalan dalam menjaga batas demarkasi antara urusan sipil dan militer. Merujuk pada UUD 1945 dan UU TNI, pembatasan terhadap TNI jelas adanya sehingga TNI tak memiliki kewenangan untuk turun tangan dalam urusan-urusan sipil tersebut.
Menurut mereka, kompleksitas ancaman perang yang semakin modern sejatinya menuntut TNI untuk fokus memperkuat kapasitas tempur, bukan justru dilebur dalam kegiatan non-militer yang menjadi ranah sipil. Hal ini dinilai mencederai semangat reformasi TNI yang memiliki cita-cita atas profesionalisme TNI dan nihilnya campur tangan TNI atas urusan sipil.
Koalisi mendesak presiden dan DPR untuk mengawasi dan mengevaluasi kebijakan yang dinilai telah mengingkari jati diri TNI.
Adapun, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan ini terdiri dari berbagai organisasi. Mereka di antaranya Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, dan De Jure.
Adil Al Hasan berkontribusi dalam penulisan artikel ini.