DEWAN Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau DPP PDIP merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian gugatan uji materi Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional atau UU Sisdiknas. Putusan MK soal sekolah gratis untuk jenjang SD hingga SMP itu dibacakan pada Selasa, 27 Mei 2025.
Ketua DPP PDIP Maria Yohana Esti Wijayati mengatakan partainya berpandangan putusan MK Nomor 3/PUU-XXII/2024 tentang sekolah gratis itu bersifat final dan mengikat, serta harus dikawal dan dilaksanakan.
Dia mengatakan hal itu usai seminar “Mewujudkan Amanat Konstitusi: Pendidikan Dasar Gratis untuk Meningkatkan SDM Unggul dan Berdaya Saing” di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta, Senin, 30 Juni 2025, seperti dikutip dari Antara.
“Kami mempertegas dan meminta kepada seluruh anggota Fraksi PDI Perjuangan, kader PDI Perjuangan, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk mengawal putusan MK ini,” kata Esti.
Wakil Ketua Komisi X DPR ini mengatakan pemerintah pusat juga harus berkomitmen memprioritaskan pendidikan dasar di seluruh Indonesia, termasuk untuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
“Komitmen ini harus kita bangun bersama, bahwa pendidikan dasar memang harus menjadi prioritas. Baik di Jawa, daerah 3T, maupun wilayah lainnya, tentu dengan pendekatan yang sesuai kebutuhan masing-masing. Ini adalah perhatian utama kami,” ujarnya.
Legislator asal Daerah Istimewa Yogyakarta itu juga menyoroti besarnya total anggaran negara yang mencapai Rp 3.800 triliun, dengan 20 persennya dialokasikan untuk pendidikan.
Dia mengatakan, jika ditambah dengan alokasi dari pemerintah daerah yang juga 20 persen, maka secara kalkulasi seharusnya cukup untuk menyediakan pendidikan dasar yang bermutu dan gratis. “Ini sebenarnya memungkinkan untuk mewujudkan pendidikan dasar gratis,” ujarnya.
Menurut perhitungannya, anggaran tersebut sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan biaya penyelenggaraan pendidikan dasar yang merata di seluruh wilayah Indonesia.
“Saya mencoba menghitung. Kalau misalnya biaya SD sekitar Rp 300 ribu per bulan dan SMP Rp 500 ribu per bulan, maka dengan alokasi Rp 170 triliun hingga Rp 200 triliun, kita sebenarnya bisa mewujudkannya. Saya yakin ini sangat mungkin, selama ada kemauan, komitmen, dan political will untuk mengalokasikan anggaran secara tepat,” tuturnya.
PDIP Sebut Putusan MK Wujudkan Cita-cita Sukarno
Dalam seminar tersebut, Kepala Badan Sejarah Indonesia PDIP Bonnie Triyana menyebutkan putusan MK soal pendidikan dasar gratis telah mewujudkan cita-cita Presiden Pertama RI Sukarno soal pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bonnie mengungkapkan Bung Karno sejak awal kemerdekaan menyadari pentingnya pendidikan merata. Menurut dia, Bung Karno di era 1950-an bahkan menginisiasi gerakan pemberantasan buta huruf dan terjun langsung mengajar rakyat.
“Bung Karno menyadari bahwa pendidikan adalah hak seluruh warga negara, bukan hanya milik segelintir orang. Karena itu, diskriminasi pendidikan yang lahir dari sistem kolonial harus kita pecahkan,” kata Bonnie.
Anggota Komisi X DPR ini menilai putusan MK yang mewajibkan negara menanggung biaya pendidikan dasar, termasuk di sekolah swasta, adalah langkah nyata melanjutkan perjuangan tersebut. “Ini bukan hanya soal biaya, tetapi soal keadilan sosial dan hak dasar setiap anak bangsa,” ujarnya.
Lebih lanjut, Bonnie mengatakan putusan tersebut sebagai langkah historis yang menghancurkan tembok diskriminasi sosial di bidang pendidikan.
“Putusan MK ini memecahkan persoalan pendidikan yang sudah lama bersifat diskriminatif karena status ekonomi. Sekarang kita hancurkan tembok diskriminasi itu, sehingga setiap orang bisa sekolah, tidak lagi terdiskriminasi,” tuturnya.
Dia juga memandang putusan Mahkamah itu sebagai langkah progresif yang harus disambut dengan keseriusan penuh oleh pemerintah. Menurut dia, ini bukan sekadar keputusan hukum biasa, melainkan manifestasi konkret dari cita-cita luhur bangsa untuk mewujudkan keadilan sosial dan martabat kemanusiaan melalui pendidikan yang merata.
Bonnie, yang menjadi moderator seminar, menyoroti bentuk ketidakadilan dalam akses pendidikan bukan hal baru di Indonesia. Dia menuturkan, pada masa kolonial, hanya anak-anak dari kalangan bangsawan atau elite pribumi yang dapat mengakses pendidikan tinggi.
Dia merujuk pada gambaran diskriminasi sosial dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam, yang menceritakan kisah seorang anak pedagang tempe bernama Lantip.
“Lantip ini tidak bisa sekolah karena dia anak orang kecil. Tetapi ketika dipungut oleh keluarga Sastrodarsono yang seorang priyayi, status sosialnya naik dan dia bisa sekolah. Itu di zaman kolonial,” kata Bonnie.
Bonnie menambahkan, pada masa Belanda pun sekolah dibagi berdasarkan kelas sosial. “Sekolah tinggi seperti Europeesche Lagere School dan sekolah hukum hanya bisa diakses anak-anak elite. Sementara rakyat biasa hanya bisa masuk sekolah rakyat seperti Ongko Loro, yang paling banter hanya melahirkan buruh atau pekerja kasar,” ungkapnya.
Menurut dia, hal tersebut menjelaskan mengapa saat Indonesia merdeka sekitar 80 persen dari 62 juta rakyatnya tidak bisa membaca. “Hanya sedikit lapisan elite yang bisa baca tulis dan memiliki kualitas pendidikan yang memadai,” ujarnya.
Sultan Abdurrahman dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Aksi Tenda di UI Menolak IPI Kembali Dibubarkan Paksa