TEMPO.CO, Jakarta - Sengketa kepemilikan Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang antara Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) kembali mencuat. Awal mula sengketa pulau, setelah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menetapkan keempat pulau tersebut berada di wilayah administrasi Sumut.
Dekret itu dituangkan dalam Keputusan Mendagri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau yang ditetapkan 25 April 2025. Kendati demikian, keputusan tersebut tak mengakhiri sengketa dan justru menambah polemik baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sengketa 4 pulau antara Aceh dan Sumut hanya satu dari beberapa kasus sengketa pulau yang terjadi antar provinsi maupun daerah di Indonesia. Tempo telah merangkum sederet perkara sengketa yang ada di Tanah Air, beberapa telah diputuskan rampung, sementara yang lain masih menggantung.
1. Sengketa Pulau Berhala Antara Kepri dan Jambi
Dikutip dari laporan majalah Tempo edisi 25 Agustus 2005 berjudul Merebut Berhala, Mengabaikan Berhala, riwayat sengketa ini sudah muncul sejak 1984. Waktu itu Provinsi Kepulauan Riau, disingkat Kepri, belum lahir. Mulanya yang bersengketa adalah Provinsi Jambi dan Provinsi Riau. Dua daerah ini mengusung landasan sejarah sebagai pegangan hukum.
Jambi, misalnya, mengaitkan makam Datuk Paduka Berhalo di Pulau Berhala sebagai dasar hukum. Paduka Berhalo tak lain adalah Raja Melayu Jambi di abad ke-11. Pulau Berhala secara resmi dimasukkan ke dalam Kecamatan Nipah Panjang, Kabupaten Tanjungjabung Timur. Ketetapan ini dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1999 tentang pemekaran kabupaten di Jambi.
Sebaliknya, Pemerintah Provinsi atau Pemprov Riau berkukuh dan menunjuk sebuah prasasti peninggalan Belanda sebagai dasar. Prasasti 1957 menyebutkan pulau itu masuk wilayah Riau. Pemprov Riau memasukkan Berhala ke wilayahnya di Kecamatan Singkep, Kabupaten Kepulauan Riau.
Kemudian, status Pulau Berhala berubah setelah terbentuknya Provinsi Kepri pada 2002. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 tentang Provinsi Kepri, wilayah Berhala tak dimasukkan di dalam wilayah Kepri. Waktu itu, Pemprov Jambi memperkirakan Pulau Berhala sudah ditetapkan menjadi wilayahnya.
Setahun kemudian, setelah Kecamatan Lingga, Kepri, ditingkatkan menjadi kabupaten, Pulau Berhala menjadi masalah lagi. Sebab, di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 tentang Kabupaten Lingga, Berhala menjadi bagian kabupaten baru ini. Maka, sengketa Berhala ini pun muncul lagi. Pada 2003, dua pemerintah daerah ini kembali mengadu ke Departemen Dalam Negeri.
Kemudian, Peraturan Menteri Dalam Negeri atau Permendagri Nomor 44 Tahun 2011 yang mengatur wilayah administrasi Pulau Berhala menetapkan sebagai bagian dari Tanjung Jabung Timur, Jambi. Namun, pada 2012, Mahkamah Konstitusi atau MK menyatakan Permendagri tersebut batal demi hukum. Dengan demikian, sejak saat itu status Pulau Berhala adalah milik Kepri.
2. Sengketa Gugus Pulau Tujuh Antara Kepri dan Bangka Belitung
Selain dengan Jambi, Kepri juga bersengketa dengan Provinsi Bangka Belitung alias Babel terkait kepemilikan gugusan Pulau Tujuh. Bedanya, hingga kini sengketa perbatasan itu tak kunjung kelar. Secara geografis, letak Pulau Tujuh lebih dekat ke Pulau Bangka dibanding ke Kabupaten Lingga. Dari Bangka, perjalanan ke Pulau Tujuh hanya dua jam, sementara dari Lingga delapan jam.
Dilansir dari Antara, Sabtu, 14 Juni 2025, munculnya sengketa pulau Tujuh setelah diterbitkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Bangka Belitung, Pulau Tujuh masuk wilayah Babel. Namun dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga, Pulau Tujuh dimasukkan sebagai wilayah Lingga, sehingga dua provinsi kepulauan saling klaim atas kepemilikan pulau tersebut.
3. Sengketa Kepulauan Seribu Antara Banten dan Jakarta
Disadur dari majalah Tempo edisi 26 Oktober 2003, Banten dan Jakarta pernah berebut 22 pulau yang terletak di perairan Kepulauan Seribu. Perselisihan dimulai ketika pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun1999 tentang Pemerintahan DKI Jakarta. Dalam regulasi itu, Kepulauan Seribu dimasukkan dalam wilayah DKI Jakarta.
Perseteruan meningkat setelah status Kecamatan Kepulauan Seribu, yang semula berada di Kota Madya Jakarta Utara, ditingkatkan menjadi kabupaten administratif melalui Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2001. Pemprov Banten meradang setelah mengetahui sebanyak 22 pulau dari 106 pulau di Kepulauan Seribu yang dipersoalkan tetap dimasukkan ke dalam wilayah Jakarta.
Gubernur Banten saat itu Djoko Munandar bersikeras ingin memasukkan pulau-pulau yang kini dikuasai Jakarta itu ke wilayahnya. Ia mengacu pada Pasal 3 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Wilayah provinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh dua belas mil laut yang diukur (tegak lurus) dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan.
Bagi DKI Jakarta sendiri, batas wilayah tersebut tampaknya sudah menjadi harga mati. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta, menyatakan bahwa berdasarkan UU Pemerintahan DKI Jakarta dan Peraturan Pemerintah No. 55/2001, sudah jelas disebut bahwa ke-22 pulau tersebut memang menjadi bagian dari DKI Jakarta.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah menegaskan bahwa pulau-pulau sengketa itu memang masih milik DKI Jakarta. Dalam Pasal 124 Undang-Undang Pemerintahan Daerah disebut bahwa pada saat berlakunya undang-undang ini, nama, batas, dan ibu kota propinsi daerah tingkat I, daerah istimewa, kabupaten daerah tingkat II, dan kota madya daerah Tingkat II, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan, adalah tetap.
4. Sengketa Pulau Galang Antara Gresik dan Surabaya
Berdasarkan data Badan Informasi Geospasial (BIG), Pulau Galang di kawasan perairan wilayah administrasi Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya, Jawa Timur, belum terbentuk pada 1960. Pulau tersebut baru muncul sebagai daratan pada 2002. Karena kemunculannya yang relatif baru, status administratif pulau kemudian menjadi perdebatan dan sengketa.
Pemerintah Kabupaten atau Pemkab Gresik mengklaim Pulau Galang sebagai bagian dari wilayahnya berdasarkan sertifikat hak milik yang telah diterbitkan. Di sisi lain, Pemerintah Kota Surabaya juga mengklaim wilayah tersebut karena lokasinya yang lebih dekat dengan batas administratifnya.
Karena konflik ini berlarut-larut dan tidak ada titik temu penyelesaian, Kemendagri memutuskan untuk menetapkan status quo bagi Pulau Galang. Dengan kata lain, pengelolaan dan tanggung jawab atas pulau ini diambil alih oleh Pemprov Jawa Timur. Saat ini, Pulau Galang tidak masuk dalam wilayah administratif baik Gresik maupun Surabaya.
5. Sengketa 13 Pulau Antara Trenggalek dan Tulungagung
Selain antara Gresik dan Surabaya, sengketa perebutan pulau di Jawa Timur juga terjadi antara Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Tulungagung. Hingga kini, kendati Pemprov Jawa Timur sudah memfasilitasi pertemuan kedua belah pihak beberapa kali, belum ada titik temu penyelesaian.
Masalah ini mulai mencuat sejak terbitnya Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 4 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RT RW), yang mencakup 13 pulau milik Trenggalek. Pencatutan didasarkan pada Kepmendagri Nomor 050-145 Tahun 2022 Tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode Data Wilayah Administrasi Pemerintah dan Pulau.
Di sisi lain, Pemkab Trenggalek bersikukuh bahwa 13 pulau tersebut merupakan miliknya. Trenggalek telah menunjukkan bukti-bukti bahwa 13 pulau itu masuk di wilayah Bumi Menak Sopal, sebutan lain Trenggalek. Bukti itu di antaranya peta RTRW yang memasukkan 13 pulau itu ke Trenggalek, selaras dengan yang ada di RTRW Provinsi.
6. Sengketa Empat Pulau Antara Aceh dan Sumut
Status kepemilikan Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang dan Mangkir Ketek yang disengketakan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Sumut berusaha diakhiri Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dengan menerbitkan Kepmendagri No. 300.2.2-2138/2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau.
Dalam regulasi yang terbit pada 25 April 2025 itu, keempat pulau kecil di Samudera Hindia tersebut dinyatakan masuk wilayah Provinsi Sumatera Utara. Dikatakan Tito, persoalan ini memiliki sejarah panjang dan melibatkan banyak pihak serta instansi sejak awal konflik itu muncul pada 1928.
“Dari tahun 1928 persoalan ini sudah ada. Prosesnya sangat panjang, bahkan jauh sebelum saya menjabat. Sudah berkali-kali difasilitasi rapat oleh berbagai kementerian dan lembaga,” ujarnya seperti dikutip Antara.
Terkait dengan empat pulau yang disengketakan, Tito menjelaskan bahwa batas darat antara Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah sudah diteliti oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), TNI Angkatan Laut, dan Topografi Angkatan Darat, sehingga pemerintah pusat memutuskan bahwa empat pulau tersebut berada dalam wilayah Sumatera Utara.
“Keputusan ini sudah ditandatangani oleh kedua belah pihak,” katanya.
Namun keputusan Kemendagri berujung polemik. Mantan Ketua Komisi N...