Satya Arinanto menyinggung soal aliran dana dari donatur asing untuk LSM saat menjadi saksi ahli dalam sidang gugatan UU TNI di Mahkamah Konstitusi.
21 Juli 2025 | 17.13 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Satya Arinanto menyinggung soal aliran dana dari donatur asing yang diterima Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM dalam isu partisipasi publik di setiap proses pembentukan atau revisi undang-undang. Pernyataan Satya itu diungkap saat ia menjadi saksi ahli DPR dalam sidang gugatan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI di Mahkamah Konstitusi.
Ia mengatakan, siapa pun lembaga yang tidak menggunakan dana sendiri dalam mengawal suatu kasus merupakan tindakan yang tidak pas. “Karena bisa saja isu itu titipan, makanya tadi saya bilang, mana isu merah putih, maksudnya isu yang dari Anda sendiri, yang memang demi kepentingan merah putih bukan dari donor,” ucapnya di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Senin, 21 Juli 2025.
Satya mengatakan pernyataan itu disampaikan bukan karena anti terhadap LSM. Namun ia menginginkan LSM untuk bisa mandiri sehingga isu yang mereka kawal murni kepentingan lembaga tanpa tergantung dari pihak mana pun.
“Saya menyebut LSM sebagai pilar keempat demokrasi. Jadi setelah eksekutif, legislatif, yudikatif, itu saya taruh LSM. LSM yang bergerak sendiri, biaya sendiri, didirikan sendiri, dan bikin kantor sendiri bukan atas biaya asing atau yang lain,” kata dia.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa, pendapatnya tersebut bukan hanya ditujukan untuk LSM tapi juga untuk partai politik. “Partai politik itu yah swadaya. Jadi saya tidak setuju ini seperti sekarang kalau partai politik dapat biaya dari negara,” ucapnya.
Adapun dalam sidang hari ini, Satya menyinggung para pemohon uji formil UU TNI tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara ini. “Permohonan a quo ditolak untuk seluruhnya atau paling tidak pemohon dinyatakan tidak dapat diterima,” kata dia di depan hakim MK.
Saksi ahli dari DPR lainnya yaitu, Faisal Santiago menambahkan, proses legislasi UU TNI sudah berjalan sesuai dengan prinsip konstitusional. Selain itu kata dia, UU TNI sudah melibatkan partisipasi publik yang bermakna serta mengedepankan prinsip akuntabel dan transparan.
“Oleh karena itu, dengan segala hormat memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk menyatakan bahwa, permohonan pengajuan formil yang diajukan oleh para pemohon tidak memiliki dasar hukum yang kuat, UU TNI merupakan UU yang sah karena telah dibentuk dengan akuntabel dan transparan,” kata dia di ruang sidang MK.
Sebelumnya, pemohon perkara nomor 75/PUU-XXII/2025 menghadirkan akademisi dan pakar hukum tata negara Denny Indrayana sebagai saksi ahli. Dalam keterangannya, Denny mempertanyakan seberapa banyak masyarakat yang tahu dan dilibatkan dalam proses pembentukan UU TNI.
“Seberapa mudah dokumen dan naskah akademik rancangan undang-undang didapatkan masyarakat? Seberapa transparan proses pembahasan di DPR dapat diakses oleh publik? Apakah publik tahu dan dilibatkan?” ucap Denny yang hadir secara daring di Sidang Lanjutan uji formiil UU TNI di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin, 7 Juli 2025.
Adapun sebelumnya pemohon perkara 56/PUU-XXIII/2025 menghadirkan pakar hukum tata negara Bivitri Susanti sebagai saksi ahli. Dalam keterangannya Bivitri mengatakan mestinya proses pembuatan undang-undang harus sesuai dengan prinsip konstitusional dan tidak terkesan tertutup.
“Kenapa tidak mau diawasi? Kenapa harus buru-buru dan tertutup sampai naskah pun tidak dipublikasikan? Apa ini berarti ada yang ingin disembunyikan? Jawaban konkrit mengenai apa yang disembunyikan dari setiap Undang-Undang pasti membutuhkan analisis tersendiri,” ucapnya dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, Selasa 1 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak disahkan oleh DPR pada 21 Maret 2025 lalu, UU TNI menjadi produk hukum yang paling banyak digugat ke MK. Tercatat, 11 gugatan dilayangkan oleh mahasiswa dan masyarakat sipil.
PODCAST REKOMENDASI TEMPO