Regulasi Dana Korban Kekerasan Seksual Dianggap Abai terhadap Kelompok Rentan

3 weeks ago 23
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah telah merilis Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2025 tentang Dana Bantuan Korban Kekerasan Seksual sebagai turunan dari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Namun, regulasi tersebut dianggap belum menjawab kebutuhan korban, khususnya perempuan adat dan penyandang disabilitas.

Pilihan editor: Anggaran Pendidikan 20 Persen untuk Siapa?

Penilaian tersebut disampaikan pemerhati hak kesehatan seksual dan reproduksi, Nur Jannah, dalam konferensi pers soal "Peraturan Pemerintah tentang Dana Bantuan Korban tidak Menjawab Kebutuhan Penangan Korban Kekerasan Seksual" yang digelar di Hotel Tamarin, Jakarta, Senin, 21 Juli 2025. "PP tersebut justru berpotensi membatasi akses korban terhadap pemulihan," ujar Nur.

Aktivis dari Perempuan Aman, Yeryana, mengatakan terdapat hambatan geografis dan struktural yang dialami perempuan adat dalam mengakses keadilan. Salah satu hambatannya, yakni ketika korban mencari akses atau laporan ke polisi, menjalani sidang, sampai putusan.

Korban dari masyarakat adat dan penyandang disabilitas kerap menempuh jalan berlumpur hingga puluhan kilometer. Selain itu, terdapat daerah yang hanya mempunyai akses transportasi melalui sungai dengan waktu tempuh mencapai belasan jam untuk mencapai kepolisian resor terdekat. "Itu sangat berat bagi kami perempuan adat," ujar Yeryana. 

Selain hambatan fisik, Yeryana menyoroti kekakuan sistem hukum yang tidak sejalan dengan praktik adat. Ia juga menekankan bahwa dalam peradilan adat, pemulihan trauma korban tidak pernah menjadi bagian dari keputusan. "Untuk pemulihan korban seperti traumanya dan lainnya itu tidak ada," ujarnya.

Stigma dan tekanan sosial juga menjadi faktor dominan yang mempersulit korban untuk melapor. “Kalau dia masih gadis, siapa yang akan mau menikahinya," ujarnya. "Atau ketika dia berkeluarga, potensi besar dia bisa cerai.”

Yeryana menyesalkan kebijakan pemerintah yang justru membuat banyak perempuan disabilitas tetap tidak terlindungi. Ia menegaskan, "Kalau ada dari kami yang tidak bisa dilindungi karena peraturan yang ada ini, jadi untuk apa?".

Ketua II Bidang Advokasi dan Peningkatan Kesadaran Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Rina Prasarani, turut mengkritik ketidakinklusifan regulasi tersebut tersebut. Ia menuturkan bahwa perempuan penyandang disabilitas mengalami tantangan berlapis. 

Mereka membutuhkan pendampingan dan penerjemah, terutama bagi korban tunarungu yang tidak mengenyam pendidikan formal. Sayangnya, PP ini tidak memberikan mekanisme yang menjamin layanan tersebut.

Ia menyoroti lemahnya peran negara dalam memberikan bantuan langsung kepada penyintas disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual. Ia menyebut beban pemulihan dan pendampingan justru lebih banyak dipikul oleh organisasi masyarakat sipil. "Semua beban itu ditanggungkan kepada organisasi," tegas Rina. 

Rina menyebut hanya perempuan disabilitas dengan kekuatan finansial dan mental yang bisa mengakses proses hukum. "Jika ini terus dibiarkan, yang terjadi adalah pelaku-pelaku yang menyasar kepada korban-korban yang rentan itu akan dengan mudah menyasar lagi," tandasnya. 

Mike Verawati Tangka dari Koalisi Perempuan Indonesia, menambahkan bahwa skema dana bantuan dalam PP tersebut justru menyempitkan makna restitusi. "Restitusi yang sudah ada maka dana bantuan korban di dalam PP ini akan diproses oleh LPSK, sisanya," katanya. 

Padahal, kata dia, kerugian korban seharusnya diakui sejak awal kejadian, bukan hanya saat sudah diputuskan pengadilan.

Ia juga mengkritik sumber pendanaan yang tidak berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sebab, sumber-sumber pendanaan itu berasal dari filantropi. Padahal, menurut dia, negara yang harus memikul tanggung jawab terhadap pemulihan korban, bukan organisasi masyarakat.

"Ini adalah tanggung jawab negara dan nomenklatur anggarannya seharusnya jelas dari APBN atau APBD," ujarnya.

Pilihan editor: Mengapa Panitia Munas BEM SI Hadirkan Pejabat dan Politikus

Read Entire Article