TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi mengagendakan sidang lanjutan gugatan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI, yang diajukan mahasiswa dari berbagai kampus dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan pada Senin, 23 Juni 2025.
Berdasarkan jadwal sidang di situs mkri.id, hari ini agendanya adalah mendengarkan keterangan DPR dan Presiden Prabowo Subianto. "Pukul 09.00 WIB," sebagaimana tertulis dalam situs mkri.id yang dilihat Tempo, Senin, 23 Juni 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun, perkara yang akan disidangkan hari ini, antara lain perkara nomor 45, 56, 69,75, dan 81/PUU-XXIII/2025 yang diajukan mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia, FH Universitas Padjajaran, FH Universitas Gadjah Mada, dan koalisi masyarakat sipil.
Sejak disahkan oleh DPR pada 21 Maret 2025 lalu, UU TNI menjadi produk hukum yang paling banyak digugat ke MK. Tercatat, 11 gugatan dilayangkan oleh mahasiswa dan masyarakat sipil.
Dari 11 gugatan itu, 5 gugatan berlanjut pada sidang lanjutan, 5 gugatan ditolak Mahkamah, dan 1 gugatan yang diajukan mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya dicabut oleh pemohon.
Lima gugatan yang ditolak Mahkamah, antara lain gugatan yang diajukan mahasiswa FH Universitas Islam Indonesia; FH Universitas Internasional Batam; FH Universitas Pamulang; FH Brawijaya; dan masyarakat sipil atas nama Christian Adrianus Sihite serta Noverianus Samosir.
Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan, gugatan yang diajukan pemohon atas nama masyarakat sipil tidak dapat menguraikan dengan jelas ihwal pertautan potensi kerugian dengan dugaan persoalan konstitusionalitas sebagaimana yang disampaikan pada gugatan.
"Uraian pemohon yang merugi karena kesulitan mengakses informasi proses pembentukkan UU TNI tidak dikuatkan dengan bukti," kata Saldi saat membacakan pertimbangan putusan, Kamis, 5 Juni 2025.
Bukti yang dimaksud Saldi, ialah terkait uraian dan kegiatan yang menunjukkan satu upaya aktif dari pemohon untuk meminta akses informasi dalam proses pembentukkan UU TNI di DPR.
Kekurangan itu, dia melanjutkan, juga diperkuat dengan pernyataan pemohon pada persidangan pemeriksaan yang mengatakan, tidak pernah mengikuti atau melakukan aktivitas yang dapat dimaknai sebagai upaya aktif dalam proses pembentukkan UU TNI. "Pemohon hanya mengetahui pemberitaan melalui media," ujar dia.
Dengan begitu, Saldi mengatakan, pemohon dalam memperkuat kedudukan hukum tidak dapat membuktikan bahwa dirinya merupakan pihak yang telah melakukan upaya nyata dalam proses pembentukkan UU TNI.
Selanjutnya, kata dia, pemohon juga menguraikan penjelasan yang tidak relevan dalam kerugian konstitusional. Sehingga, Mahkamah tidak menemukan bukti konkret yang menunjukkan adanya keterpautan dan hubungan sebab akibat antara pemohon dengan proses pembentukan UU TNI. "Menurut Mahkamah, pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo," ucap Guru besar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas itu.