TEMPO.CO, Jakarta -- Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Hinca Panjaitan menyarankan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berembuk dengan Kementerian Hukum, bila memiliki masukan soal revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Politikus dari Fraksi Demokrat ini mengatakan, KPK merupakan lembaga yang kedudukannya berada di ranah eksekutif atau di bawah presiden. Maka dari itu, menurut dia, usulan-usulan yang berhubungan dengan Rancangan Undang-Undang KUHAP harus dilakukan melalui pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hinca menyatakan, posisi DPR sudah selesai dalam konteks draf RUU KUHAP. Saat ini, dalam pengajuan RUU KUHAP, pemerintah merupakan pihak yang membuat daftar inventarisasi masalah (DIM). "Saran saya untuk KPK, temuilah pemerintah,” ujar Hinca di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin, 21 Juli 2025. "Masa satu rumah, enggak cakap-cakap, ya."
Hinca menjelaskan, dirinya tidak menuding KPK tidak berdiskusi dengan Kementerian Hukum. Hanya saja, kata dia, lembaga antirasuah ini seharusnya membahas masukan-masukan mereka dengan pemerintah. “Tapi kalau dia mau datang ke DPR, ya, monggo juga. Ini undang-undang, kan, undang-undang kita, ya. Siapa pun boleh, jika ada masukan,” tutur Hinca.
Dia menegaskan KPK perlu mengajukan kritik ihwal RUU KUHAP ke Kementerian Hukum. Sebab, pemerintah lah yang menyusun DIM RUU KUHAP. “Harus bicara lah kepada teman-teman (Kementerian), atas nama presiden kok ini yang datang,” ujar Hinca.
KPK sebelumnya menyampaikan kritik terhadap setidaknya 17 isu krusial dalam revisi KUHAP. Ketua KPK Setyo Budiyanto mengatakan, pasal-pasal tersebut dapat mengurangi kewenangan tugas dan fungsi dari lembaga antirasuah itu. "Ada potensi-potensi yang kemudian bisa berpengaruh terhadap kewenangan, mengurangi kewenangan tugas dan fungsi KPK,” kata Setyo dalam keterangan tertulis, dikutip pada Sabtu, 19 Juli 2025.
Adapun kewenangan yang berpotensi berkurang, kata Setyo, terletak pada fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi. KPK telah membuat kajian untuk diberikan kepada pemerintah dan DPR sebagai masukan dalam revisi regulasi tersebut. KPK berharap khususnya kepada panitia kerja, kemudian kepada pemerintah, agar batang tubuh dengan ketentuan peralihan dalam RUU ini disusun secara sinkron. "Kalau tidak sinkron, nanti bisa menimbulkan bias dan ketidakpastian hukum,” ujar Setyo.
Berikut 17 isu yang menjadi sorotan dan catatan kritis KPK terhadap RUU KUHAP:
1. Keberlakuan Undang-Undang KPK yang mengatur kewenangan penyelidik dan penyidik serta hukum acara yang bersifat khusus berpotensi dimaknai bertentangan dengan RUU KUHAP dengan adanya Pasal 329 dan Pasal 330 RUU KUHAP.
2. Keberlanjutan penanganan perkara KPK hanya dapat diselesaikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
3. Keberadaan penyelidik KPK tidak diakomodir dalam RUU KUHAP, penyelidik hanya berasal dari Polri dan penyelidik diawasi oleh penyidik Polri.
4. Penyelidikan hanya mencari dan menemukan peristiwa tindak pidana, sedangkan penyelidikan KPK sudah menemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti.
5. Keterangan saksi yang diakui sebagai alat bukti hanya yang diperoleh di tahap penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
6. Penetapan tersangka ditentukan setelah penyidik mengumpulkan dan memperoleh dua alat bukti.
7. Penghentian penyidikan wajib melibatkan penyidik Polri.
8. Penyerahan berkas perkara ke penuntut umum melalui penyidik Polri.
9. Penggeledahan terhadap tersangka harus didampingi penyidik dari daerah hukum tempat penggeledahan tersebut.
10. Penyitaan dengan permohonan izin Ketua Pengadilan Negeri.
11. Penyadapan termasuk upaya paksa, hanya dilakukan pada tahap penyidikan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri, serta tidak ada definisi penyadapan yang sah (lawful interception).
12. Larangan bepergian ke luar wilayah Indonesia termasuk upaya paksa dan hanya terhadap tersangka.
13. Pokok perkara tindak pidana korupsi tidak dapat disidangkan selama proses praperadilan.
14. Kewenangan KPK dalam perkara koneksitas tidak diakomodir.
15. Perlindungan saksi hanya dilakukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
16. Penuntutan di luar daerah hukum dengan pengangkatan sementara Jaksa Agung.
17. Penuntut umum hanya dari kejaksaan atau lembaga sesuai undang-undang.