TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyayangkan pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut pemerkosaan massal dalam Tragedi Mei 1998 hanya rumor tanpa bukti. Komnas mengingatkan bahwa negara secara resmi telah mengakui kekerasan seksual sebagai bagian dari pelanggaran HAM berat dalam kerusuhan Mei 1998.
Dasar Lahirnya Komnas Perempuan
Pernyataan tersebut disampaikan Komisioner Komnas Perempuan Dahlia Madanih. Dahlia menilai bahwa penyangkalan Fadli tak hanya menyakitkan bagi para penyintas, tapi juga memperpanjang impunitas. Komnas mengingatkan bahwa data yang dikumpulkan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menyebut sedikitnya 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 pemerkosaan, terjadi selama kerusuhan.
Temuan tersebut dilaporkan kepada Presiden BJ Habibie dan menjadi landasan pengakuan resmi negara atas terjadinya pelanggaran HAM terhadap perempuan. Sebagai tindak lanjut, pemerintah membentuk Komnas Perempuan lewat Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998. Tim TGPF pun dibentuk dari hasil keputusan bersama lima pejabat tinggi negara pada 23 Juli 1998. Tim ini menjadi mandat resmi negara untuk mengungkap fakta kerusuhan, termasuk dugaan pelanggaran HAM berat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Penyintas sudah terlalu lama memikul beban dalam diam. Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperpanjang impunitas,” ujar Dahlia dalam keterangan resmi yang diterima Tempo, Ahad, 15 Juni 2025.
Komisioner Komnas Perempuan yang lain, Yuni Asriyanti, mendesak agar pernyataan Fadli Zon ditarik dan digantikan permintaan maaf. “Sebagai wujud tanggung jawab moral dan komitmen terhadap prinsip hak asasi manusia,” kata Yuni.
Wakil Ketua Transisi Komnas Perempuan, Sondang Frishka Simanjuntak, menyebut bahwa menyangkal laporan TGPF sama dengan menafikan kerja-kerja resmi negara. Ia menyerukan kepada seluruh pejabat publik untuk menghormati proses pencatatan sejarah dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM.
“Komnas Perempuan menyerukan kepada semua pejabat negara untuk menghormati kerja-kerja pendokumentasian resmi, memegang teguh komitmen HAM, dan mendukung pemulihan korban secara adil dan bermartabat,” ujar Sondang.
Selain Komnas Perempuan, pernyataan kontroversi Fadli Zon soal peristiwa pemerkosaan massal 1998 turut memantik tanggapan dari berbagai pihak lain. Dilansir dari berbagai laporan Tempo, berikut sederet tanggapan tersebut.
Mantan Ketua Komnas Perempuan Kamala Chandrakirana
Mantan Ketua Komnas Perempuan, Kamala Chandrakirana, menyebut ucapan Fadli Zon sebagai perwujudan nyata dari culture of denial yang masih mengakar dalam birokrasi dan elit politik Indonesia. “Pernyataan Fadli Zon bertentangan dengan fakta sejarah,” kata Kamala dalam konferensi pers daring yang digelar Aliansi Perempuan Indonesia, Jumat, 13 Juni 2025.
Nana menegaskan bahwa kekerasan seksual 1998 telah diakui oleh negara melalui TGPF yang dibentuk atas mandat lima kementerian. Temuan tim itu pun telah dilengkapi laporan resmi dan executive summary oleh Komnas Perempuan, termasuk lampiran laporan tim relawan kemanusiaan.
Ia mengingatkan bahwa pernyataan Fadli juga mengabaikan laporan Pelapor Khusus PBB, Radhika Coomaraswamy, yang pada akhir 1998 datang ke Indonesia atas undangan resmi pemerintah. Coomaraswamy menyimpulkan bahwa kekerasan seksual saat kerusuhan bersifat tersebar luas dan sistematis. Ia bahkan mencatat adanya culture of denial di kalangan aparat.
"Budaya ini tidak merasa perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan sebagai persoalan penting untuk diperhatikan, apalagi untuk melakukan penyelidikan dan peradilan," ujarnya. "Pernyataan Fadli Zon menunjukkan bahwa ia adalah bagian dari budaya penyangkalan."
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas mengecam pernyataan Fadli Zon dan menyebutnya sebagai bentuk manipulasi publik, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran.
"Kami menilai pernyataan tersebut merupakan bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi," kata perwakilan koalisi, Jane Rosalina Rumpia, melalui keterangan tertulis pada Sabtu, 14 Juni 2025.
Menurut Jane, pernyataan Fadli Zon justru mengaburkan upaya pencarian fakta terkait kasus-kasus pemerkosaan yang terjadi pada 1998. Padahal, kata dia, negara melalui Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komnas HAM telah mengantongi dokumentasi serta hasil penyelidikan atas tragedi tersebut. TGPF mencatat adanya kekerasan seksual yang secara spesifik menargetkan perempuan, terutama dari komunitas Indonesia-Tionghoa.
Jane juga menilai pernyataan Fadli telah mereduksi makna sejarah berdirinya Komnas Perempuan, yang dibentuk sebagai respons atas tragedi tersebut. “Menghapus fakta sejarah ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap korban dan perjuangan mereka,” kata dia.
Aliansi Perempuan Indonesia
Aliansi Perempuan Indonesia mengecam keras pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang dianggap mengingkari luka kolektif korban kekerasan seksual dalam tragedi Mei 1998. Kelompok yang terdiri dari berbagai organisasi anti-kekerasan terhadap perempuan ini menilai, pernyataan Fadli tak sekadar keliru, tapi juga mencerminkan pengabaian atas penderitaan para korban.
Dalam konferensi pers daring pada Sabtu, 14 Juni 2025, juru bicara aliansi, Siti Umul Khoir, menyebut pernyataan Fadli sebagai bentuk kekerasan baru yang menolak kebenaran sejarah. “Ketika Menteri Fadli Zon bilang itu cuma rumor, itu bukan sekedar salah bicara, itu adalah bentuk kekerasan baru yang menolak mengakui kebenaran,” kata Siti. Pernyataan Fadli, menurut mereka, adalah bentuk penyangkalan atas sejarah kelam bangsa.
Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI)
Dari kalangan etnis Tionghoa, Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI) turut angkat bicara. Diyah Wara Restiyati dari IPTI mengenang kembali suasana mencekam yang ia alami sebagai warga keturunan Tionghoa saat kerusuhan 1998.
“Dalam kehidupan sehari-hari kami sudah didiskriminasi, sudah mengalami kekerasan hanya karena kami Tionghoa. Dan seringkali tidak dianggap sebagai bagian dari bangsa Indonesia,” ujar Diah. “Jadi apa yang disampaikan oleh pemerintah lewat Menteri Kebudayaan Fadli Zon itu benar-benar sangat melukai kami.”
Forum Aktivis Perempuan Muda Indonesia (FAMM)
Respons senada datang dari Tuba Fallopi, penyintas kekerasan seksual yang kini aktif di Forum Aktivis Perempuan Muda (FAMM) Indonesia. Ia menyebut pernyataan Fadli Zon sebagai pemicu traumatis yang membangkitkan kembali ingatan menyakitkan dari masa lalu. “Dan dalam waktu sekejap, aku juga langsung membayangkan bagaimana luka, bagaimana sakitnya, bagaimana amarahnya daripada kawan-kawan penyintas di 1998,” kata Tuba.
Menurut dia, ucapan Fadli menunjukkan betapa negara belum mampu memahami, apalagi berempati terhadap pengalaman perempuan korban kekerasan. Ia pun meragukan keseriusan pemerintah dalam memulihkan hak-hak korban jika untuk mengakui sejarah kelam saja masih gagal.
“Kami menuntut permintaan maaf terbuka dari Fadli Zon serta menolak segala bentuk penulisan ulang sejarah yang menihilkan sejarah-sejarah kekerasan seksual terhadap perempuan,” kata Tuba Fallopi dalam konferensi pers daring, Sabtu, 14 Juni 2025.
Perempuan Mahardika
Kecaman juga datang dari Perempuan Mahardhika, salah satu kelompok dalam Aliansi Perempuan Indonesia. Nur Suci Amalia, perwakilan organisasi tersebut, menilai pernyataan Fadli mencerminkan arah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang tak menunjukkan itikad menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.
Suci menyebut pernyataan yang menyamakan pemerkosaan massal 1998 sebagai gosip merupakan bentuk pelanggengan impunitas oleh negara. Ia menegaskan, penghapusan fakta-fakta pemerkosaan dalam tragedi Mei 1998 adalah bentuk pengingkaran yang disengaja.
“Dengan sengaja menghilangkan dan tidak mengakui pemerkosaan Mei 1998,” tuturnya. Sebagai generasi pasca-Reformasi, Suci menyuarakan kemarahan atas upaya penulisan ulang sejarah yang berpotensi menghapus pelanggaran HAM berat, termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan.
Amnesty International Indonesia
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut pernyataan Fadli sebagai upaya pembelaan terhadap masa lalu gelap penguasa. "Mereka menghindari rasa bersalah, menghindari rasa malu, atau menghindari tidak nyaman k...