TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi masyarakat sipil untuk melawan Impunitas menggelar aksi di depan kantor Kementerian Kebudayaan, Jakarta Pusat, Kamis pagi, 26 Juni 2025. Mereka menolak rencana pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden Soeharto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Aksi ini didasarkan pada upaya pemerintah atau negara yang dalam waktu dekat akan menetapkan Soeharto sebagai pahlawan,” kata Wakil Koordinator Bidang Eksternal Kontras, Andrie Yunus, saat ditemui di lokasi aksi pada Kamis, 26 Juni 2025.
Koalisi yang terdiri dari dari Kontras, LBH Jakarta, Imparsial, Amnesty International Indonesia, serta sejumlah BEM Fakultas Hukum—termasuk dari Universitas Indonesia dan Universitas Muhammadiyah Jakarta— ini juga menyoroti penunjukan Fadli Zon sebagai Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Menteri Kebudayaan itu juga menjadi sorotan usai pernyataannya tidak ada bukti pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998. “Pernyataan itu menunjukkan sikap abai terhadap fakta sejarah. Ini yang menjadi dasar kami berkumpul,” kata Andrie.
Dalam aksi tersebut, koalisi membawa sejumlah bukti dan dokumentasi yang mereka sebut sebagai “dosa-dosa Soeharto” selama memimpin Orde Baru. Menurut Andrie, dokumen yang dikumpulkan mencapai hampir 2.000 lembar, berisi catatan-catatan pelanggaran berat hak asasi manusia yang tidak pernah dituntaskan hingga hari ini.
“Selama kepemimpinan Orde Baru, kami mencatat banyak sekali peristiwa pelanggaran berat HAM yang tidak pernah diadili,” ujar dia.
Koalisi berencana menyerahkan dokumen-dokumen tersebut langsung kepada Kementerian Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Sejarah. “Kami diberitahu bahwa akan diterima oleh Direktur Jenderal Sejarah, dan kami juga akan menyerahkan dokumen itu kepada yang bersangkutan,” kata Andrie.
Koalisi berharap dokumen tersebut menjadi bahan pertimbangan dalam proses penulisan sejarah nasional ke depan. Mereka menuntut pemerintah agar tidak menghapus atau memanipulasi fakta-fakta pelanggaran HAM di era Orde Baru.
“Posisi kami di Koalisi Masyarakat Sipil adalah mengingatkan pemerintah untuk tidak menulis sejarah ulang secara tidak jujur. Banyak peristiwa pelanggaran HAM yang kemungkinan tidak akan ditulis, padahal itu sejarah kelam yang harus diketahui generasi muda,” ujar dia.
Koalisi mendesak pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Sejarah dan Kementerian Kebudayaan, agar mempelajari dan menerima masukan-masukan yang mereka ajukan dalam dokumen tersebut.