TEMPO.CO, Jakarta - Dalam momentum HUT Bhayangkara ke-79, sosok Jenderal Hoegeng Imam Santoso, Kapolri kelima yang menjabat dari 1968 hingga 1971 tak bisa dipisahkan dari sejarah institusi kepolisian. Ia dikenang sebagai figur yang menjunjung tinggi kejujuran dan integritas. Namun, ia dicopot Presiden Soeharto pada 2 Oktober 1971.
Menurut laporan Majalah Tempo edisi Sabtu, 14 Agustus 2021: Hoegeng Bukan Dongeng, Jenderal Hoegeng terpaksa pensiun oleh Presiden Soeharto setelah mengungkap kasus penyelundupan mobil yang melibatkan pengusaha kelas kakap saat itu, Robby Tjahjadi.
Mulanya Hoegeng menganggap penyelundupan mobil mewah itu sebagai kasus biasa. Namun, belakangan ia mulai menyadari terdapat pihak yang tidak senang ketika polisi ikut campur ke dalam kasus itu. Ia juga mendapati banyak pejabat yang ingin melepas Robby.
Penyelundupan itu dicurigai melibatkan sejumlah tentara dan personel bea cukai. Kasus penyelundupan mobil mewah ini pun membuat hubungan Hoegeng dengan Soeharto menjadi semakin renggang. Itu merupakan kasus terbesar dan terakhir yang ditangani Hoegeng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2 Oktober 1971, Hoegeng Iman Santoso pun resmi lengser dari posisinya sebagai Kapolri, Dua belas hari sebelum hari ulang tahunnya yang ke-50, ia digantikan Mohammad Hasan yang kala itu berusia 2 tahun lebih tua dibanding Hoegeng, yakni 51 tahun
Usai Hoegeng lengser, Robby Tjahjadi pun akhirnya berhasil diseret ke pengadilan dan mendapat vonis bui 10 tahun.
Setelah pensiun, Jenderal Hoegeng mengalami krisis finansial yang membuatnya tidak mampu membeli rumah atau sebidang tanah untuk tempat tinggal. Walaupun pernah menduduki berbagai posisi tinggi sebelum menjabat sebagai Kapolri, kondisi keuangan Hoegeng tetap terbatas. Saat ia diberhentikan, semua fasilitas dinas seperti rumah dan mobil harus dikembalikan.
Kapolri penggantinya, Mohamad Hasan, akhirnya meminjamkan sebuah rumah di Jalan Muhammad Yamin kepada keluarga Hoegeng. Beberapa Kapolda juga turut membantu dengan urunan untuk membelikan satu unit mobil bagi Hoegeng.
Hoegeng kemudian memenuhi kebutuhan ekonominya dengan berbagai cara, seperti melukis, menjadi pembicara dalam program dialog radio di Elshinta, serta tampil sebagai vokalis dan pemain ukulele di grup musik Hawaiian Seniors. Acara dialog radio yang ia buat sendiri diberi nama Little Thing Mean a Lot, berisi perbincangan santai dengan berbagai kalangan tentang kehidupan sehari-hari dan berhasil menarik banyak pendengar. Grup musiknya pun semakin dikenal dan menjadi program rutin di TVRI.
Namun, Hoegeng kembali menghadapi kesulitan ketika dirinya termasuk dalam daftar 50 tokoh yang menandatangani Petisi 50 pada 5 Mei 1980, sebuah pernyataan keprihatinan terhadap cara Presiden Soeharto menggunakan Pancasila untuk menyerang lawan politik. Akibatnya, siaran radionya dihentikan tanpa penjelasan, begitu pula dengan acara musiknya di televisi.
Setelah itu, untuk mencukupi kebutuhan keluarga, Hoegeng mengandalkan hasil dari menjual lukisan. Ia mampu menyelesaikan hingga empat lukisan dalam sebulan, dan dari hasil tersebut, ia dapat membiayai pendidikan anak-anaknya.
Perjalanan Hidup Hoegeng
Menurut Majalah Tempo edisi 14 Agustus 2021, Hoegeng berasal dari Pekalongan. Ayahnya, Sukarjo Hatmodjo, pernah menjabat sebagai kepala kejaksaan di kota tersebut. Saat masih kecil, Hoegeng akrab disapa “bugel” karena tubuhnya yang gemuk. Seiring waktu, panggilan itu berubah menjadi “bugeng” lalu menjadi “hugeng.”
Hoegeng menempuh pendidikan di berbagai tempat. Ia bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Pekalongan, lalu melanjutkan ke Algemeene Middelbare School (AMS) di Yogyakarta. Saat di Yogyakarta, ia sempat membentuk grup musik Hawaiian yang turut membantunya mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Saat menjabat sebagai kepala kepolisian, Hoegeng melakukan banyak pembenahan, khususnya dalam struktur organisasi di lingkungan Mabes Polri. Kariernya di kepolisian semakin menanjak setelah mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School, Military Police School, Port Gordon, Georgia, Amerika Serikat pada tahun 1950.
Beberapa jabatan penting yang pernah diembannya antara lain Kepala DPKN Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya pada 1952 dan Kepala Bagian Reserse Kriminal Kantor Polisi Sumatra Utara di Medan pada 1956. Puncak kariernya terjadi saat ia ditunjuk menjadi Kepala Kepolisian Negara pada 5 Mei 1968, menggantikan Soetjipto Joedodihardjo. Ia menjabat hingga 2 Oktober 1971, lalu digantikan oleh Mohamad Hasan.
Hoegeng meninggal di usia 82 tahun pada 15 Juli 2004 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Pemakaman Bukan Umum (TPBU) Giri Tama, Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.