TEMPO.CO, Jakarta - Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut peristiwa pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 hanya rumor belaka menuai banjir kritik. Berbagai organisasi masyarakat sipil hingga warganet mengecam pernyataan tersebut.
Dalam wawancara tentang proses penulisan ulang sejarah bersama jurnalis senior IDN Times Uni Zulfiani Lubis, Fadli mengatakan bahwa cerita tentang pemerkosaan pada perempuan Tionghoa yang melegenda tidak memiliki bukti yang cukup untuk ditulis dalam sejarah resmi Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pemerkosaan massal kata siapa itu? Enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan, ada enggak di dalam buku sejarah itu?" kata Fadli Zon dalam wawancara yang ditayangkan di siaran YouTube media IDN Time pada Rabu, 11 Juni 2025. Tempo telah diizinkan oleh Uni Lubis untuk mengutip isi wawancara tersebut.
Di sisi lain, kontroversi ini membawa kembali ingatan publik atas peristiwa kelam tersebut. Dalam laporan investigasi Tempo berjudul "Jalan Panjang Tragedi Itu: Benarkah Ada Pemerkosaan Mei 1998" yang terbit pada 3 Oktober 1998, peristiwa ini pernah menyebabkan gelombang unjuk rasa pecah hingga ke luar negeri setelah Tim Relawan untuk Kemanusiaan melaporkan data posko pengaduan mereka.
Saat itu, 13 Juli 1998, koordinator divisi kekerasan terhadap perempuan dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan itu menandatangani Dokumen Awal Nomor 3. Di dokumen setebal 19 halaman itu, tertera korban pemerkosaan dan pelecehan seksual massal yang melaporkan sampai 3 Juli 1998. Jumlahnya mencapai 168 korban yang terdiri dari 152 dari Jakarta dan sekitarnya. Sisanya, tersebar dari Solo, Medan, Palembang dan Surabaya.
Laporan itu kemudian menyebabkan gelombang demonstrasi terjadi di sejumlah kota besar di dunia. Mereka menuntut agar pemerintah RI mengusut tuntas kasus ini. Beberapa di antaranya terjadi di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Boston, Beijing, Bangkok, hingga Hongkong. Kala itu, demonstran menyampaikan unjuk rasa di luar pagar kantor kedutaan.
Sementara itu, di Taipei, pejuang hak-hak perempuan, politis, ekonom, dosen, bersama-sama mendesak pemerintah Taiwan untuk menjatuhkan sanksi ekonomi kepada pemerintah Indonesia. Huang Selling, tokoh pejuang wanita Taiwan, menyerukan bahwa pemerkosaan massal terhadap etnis apa pun harus diganjar secara pantas.
Di Hongkong, sempat terjadi aksi pelemparan telur busuk ke gebang Konsultasi Jenderal RI. Kepala Bidang Penerangan Konsultat Suhadi membenarkan bahwa di Hongkong terjadu gelombang deomnstrasi terhadap pemerkosaan Mei. Pada pertengahan Juli hingga akhir Agustus tahun itu, terjadi 17 kali demontrasi. Total demonstran mencapai 4000 orang.