BADAN Penyelenggara Haji (BPH) akan mengelola pelaksanaan haji tahun 2026 atau 1447 Hijriah, yang sebelumnya dilakukan oleh Kementerian Agama (Kemenag). Pemindahan ini, alasannya untuk mereformasi tata kelola penyelenggaraan ibadah haji.
Hal ini seiring dengan keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk membentuk BPH yang dipimpin oleh Mochamad Irfan Yusuf dan Dahnil Anzar Simanjuntak berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 144/P Tahun 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip dari Antara pada Rabu, 18 Juni 2025, Wakil Kepala BPH Dahnil Anzar Simanjuntak, menegaskan bahwa transparansi, akuntabilitas, dan integritas akan menjadi fokus utama dalam upaya reformasi tata kelola ibadah haji ke depan. Menurutnya, Presiden telah berulang kali mengingatkan bahwa BPH harus menjadi lembaga yang menjunjung tinggi integritas dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Sebelumnya, Dahnil menyampaikan bahwa Prabowo, mengharapkan agar penyelenggaraan ibadah haji dilakukan dengan transparansi penuh. "Presiden Prabowo menekankan bahwa pelaksanaan ibadah haji tahun 2025 harus berjalan secara akuntabel, transparan, aman, dan nyaman," ujarnya dalam forum dialog kolaborasi perhajian di Medan pada Senin, 9 Desember 2024.
Sebagai bagian dari upaya tersebut, BPH dibentuk setara kementerian dengan tujuan agar layanan ibadah haji dapat dikelola secara terpadu dalam satu sistem. Presiden Prabowo juga menginginkan agar pelaksanaan ibadah haji berada sepenuhnya di bawah kewenangan BPH, sehingga pelayanan dapat berlangsung lebih cepat dan responsif.
Menurut Dahnil, struktur organisasi BPH ke depan akan melibatkan berbagai lembaga terkait penyelenggaraan haji. Bahkan, beberapa pejabat tinggi setingkat jenderal bintang dua dari Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga akan turut bergabung dalam tubuh BPH.
Catatan Pengamat ke BPH
Peneliti haji dan umrah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dadi Darmadi, menyampaikan empat poin penting sebagai masukan untuk memperbaiki tata kelola penyelenggaraan ibadah haji.
Catatan pertama berkaitan dengan transparansi dan manajemen penyelenggaraan haji. Menurut Dadi, salah satu persoalan mendasar adalah kurang terbukanya informasi mengenai pengelolaan dana haji dan distribusi kuota. Ia menyoroti kasus pengalihan kuota tambahan yang terjadi pada 2024 sebagai pengingat bahwa regulasi perlu diperkuat guna menjamin keadilan serta mencegah potensi penyimpangan.
Catatan kedua, Dadi mendorong BPH untuk meningkatkan fasilitas bagi jemaah haji Indonesia selama berada di Tanah Suci. Ia menyarankan adanya kerja sama yang lebih intensif dengan otoritas Arab Saudi agar persoalan klasik seperti kepadatan di Mina dan Arafah serta kekurangan fasilitas sanitasi bisa diatasi. Menurutnya, fasilitas dan logistik harus tidak hanya mencukupi, tetapi juga memenuhi standar kenyamanan dan keselamatan.
Kemudian selanjutnya, Dadi menekankan pentingnya peningkatan kualitas pembekalan atau pelatihan bagi jemaah haji, baik dari sisi teknis maupun spiritual. Ia menilai bahwa pelaksanaan manasik haji selama ini cenderung bersifat formalitas belaka, padahal pemahaman mendalam tentang tata cara ibadah dan kondisi di lapangan sangat penting demi keamanan dan kenyamanan jemaah.
Terakhir, ia menekankan perlunya pengawasan independen dalam penyelenggaraan haji, khususnya saat BPH mulai aktif beroperasi. Dadi menegaskan bahwa dibutuhkan lembaga pengawas yang independen dan memiliki integritas, guna menjaga kredibilitas BPH dan memastikan bahwa seluruh pelayanan tetap berfokus pada kepentingan dan kebutuhan jemaah.