Liputan6.com, Jakarta - Belakangan ini, Roblox kembali menjadi bahan pembicaraan hangat di sejumlah negara. Di tengah maraknya pemberitaan soal pemblokiran game ini, Indonesia justru mengambil langkah berbeda.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menegaskan bahwa pemerintah tidak memberlakukan larangan resmi bagi anak-anak untuk memainkan Roblox.
Meski begitu, Abdul Mu’ti mengingatkan para orang tua agar bijak mengawasi anak-anak mereka saat bermain gim, terutama yang dianggap tidak memberikan manfaat pendidikan.
Ia juga menekankan agar anak-anak menghindari permainan yang mengandung unsur kekerasan.
“Tidak ada larangan, tetapi saya mengimbau agar tidak bermain Roblox,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa imbauan ini berlaku untuk semua gim yang bermuatan kekerasan atau tidak mendidik.
Di sisi lain, sejumlah negara memang memilih jalur tegas dengan memblokir atau melarang Roblox.
Alasan yang digunakan bervariasi, mulai dari kekhawatiran akan konten berbahaya bagi anak-anak hingga pertimbangan norma budaya dan keamanan digital.
Daftar Negara yang Larang Roblox dan Alasan Resminya
Berikut ini adalah daftar negara yang diketahui telah memblokir atau melarang Roblox, beserta alasan resminya:
1. Turki
Mengutip Reuters, Senin (11/8/2205), pemerintah Turki memblokir akses Roblox karena kekhawatiran akan konten yang berpotensi menyebabkan pelecehan anak.
Menteri Kehakiman Yılmaz Tunç mengatakan, “Negara kami wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan perlindungan anak-anak kami.”
Pemblokiran ini dilakukan setelah pengadilan di Provinsi Adana memutuskan untuk menghentikan akses berdasarkan penyelidikan jaksa terkait konten berbahaya.
2. Guatemala
Menurut Spliced Online, pemerintah Guatemala memutuskan melarang Roblox dengan alasan keamanan dan pencegahan kejahatan siber.
Mereka khawatir platform ini rentan terhadap eksploitasi, pencurian identitas, dan penipuan finansial. Pelarangan ini dilakukan untuk melindungi anak-anak dan remaja dari ancaman tersebut.
3. Yordania
Berdasarkan laporan Spliced Online, Roblox diblokir di Yordania sejak 2018 karena alasan keamanan dan untuk menjaga ketertiban sosial.
Meskipun alasan detailnya tidak diungkapkan secara resmi, diyakini bahwa pemerintah khawatir anak-anak terpapar konten eksplisit atau interaksi yang tidak pantas dengan pengguna lain.
4. China
Melansir Cyberpost, Roblox sempat masuk ke pasar Tiongkok pada 2019 melalui kerja sama dengan Tencent dengan nama lokal Luo Bu Le Si.
Namun, platform ini akhirnya ditarik dari App Store dan Play Store pada Desember akibat tekanan regulasi ketat, sensor konten, dan kekhawatiran pemerintah terhadap “infiltrasi budaya” serta konten yang dianggap merusak citra negara. Saat ini, Roblox tidak dapat diakses di Tiongkok daratan tanpa VPN.
5. Korea Utara
Diwartakan Spliced Online, Korea Utara memblokir seluruh platform asing, termasuk Roblox, demi menjaga kontrol penuh atas informasi digital dan mencegah “infiltrasi pemikiran serta nilai ideologis negatif” ke dalam negara. Roblox tidak pernah tersedia secara resmi di negara tersebut.
6. Oman
Menurut laporan Atheer, Otoritas Pengatur Telekomunikasi Oman pada 2025 memutuskan untuk memblokir Roblox di seluruh wilayah Kesultanan.
Kebijakan ini diambil karena platform tersebut dinilai memuat adegan kekerasan, interaksi yang tidak pantas, serta penggunaan bahasa yang dianggap tidak sesuai untuk anak-anak.
Selain itu, muncul keluhan dari sejumlah orang tua terkait anak-anak mereka yang diam-diam menghabiskan uang untuk membeli Robux, mata uang virtual Roblox, tanpa sepengetahuan atau izin keluarga.
Batas Antara Kebebasan Digital dan Regulasi Lokal
Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa kebebasan digital tetap perlu berhadapan dengan regulasi negara. Di satu sisi, Roblox dianggap sebagai ruang eksplorasi kreativitas dan edukasi digital.
Namun di sisi lain, tanpa pengawasan ketat, potensi risiko bagi anak-anak juga tak bisa diabaikan.
Bagi sebagian besar pemerintah, terutama di negara-negara konservatif atau dengan tingkat pengawasan internet tinggi, Roblox bisa saja dianggap sebagai ancaman budaya atau keamanan digital.
Langkah pelarangan ini memang menuai pro dan kontra. Sebagian mendukung karena melihat perlunya perlindungan anak yang lebih ketat.
Tapi sebagian lain menilai, solusi terbaik bukan dengan melarang total, melainkan dengan pendidikan digital, kontrol orang tua, dan penguatan sistem moderasi dari platform itu sendiri.
Apakah negara lain atau bahkan Indonesia akan mengikuti langkah Turki dan China? Hanya waktu yang akan menjawab.
Yang jelas, perdebatan antara inovasi digital dan regulasi tak akan berhenti dalam waktu dekat.