TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi masyarakat sipil dan mahasiswa masih berunjuk rasa di depan Gerbang Pancasila, Kompleks Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta hingga Selasa sore ini. Mereka berunjuk rasa karena menolak sejumlah ketentuan dalam draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Rancangan KUHAP) yang dinilai bermasalah dan mengancam akses keadilan masyarakat.
Demonstran berasal aksi dari berbagai lembaga nonpemerintah, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Perwakilan dari berbagai perguruan tinggi seperti Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Universitas Gadjah Mada juga ikut berunjuk rasa di depan gedung DPR dengan tuntutan serupa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami ingin memastikan proses legislasi ini tidak tertutup dan tetap membuka ruang partisipasi publik, terutama dari kelompok masyarakat sipil yang selama ini paling terdampak oleh aturan KUHAP yang lama,” kata Alif Fauzi Nurwidiastomo, Kepala Bidang Advokasi LBH Jakarta, saat ditemui di depan gedung DPR, Selasa, 22 Juli 2025.
Alif Fauzi menyebutkan sembilan poin krusial yang perlu direvisi dalam Rancangan KUHAP. Salah satu adalah persoalan akses terhadap bantuan hukum.
Ia menilai Rancangan KUHAP itu masih mempertahankan ketentuan lama, yang hanya mewajibkan pemberian pendampingan hukum bagi terdakwa dengan ancaman hukuman di atas lima tahun. “Ini sangat diskriminatif. Padahal banyak korban pasal-pasal karet yang justru diancam dengan hukuman di bawah lima tahun. Mereka tetap rentan dikriminalisasi jika ketentuan ini dipertahankan,” ujar Alif.
Di samping itu, koalisi juga menyorot belum diaturnya mekanisme akses informasi berkas perkara bagi pendamping hukum. “Kalau informasi tidak diberikan, apa konsekuensinya? Ini belum dijawab dalam draf. Tanpa akuntabilitas, keadilan hanya akan menjadi slogan,” kata dia.
Saat ini Komisi III DPR dan pemerintah tengah membahas Rancangan KUHAP. Mereka bahkan sudah menuntaskan pembahasan 1.676 poin daftar inventaris masalah (DIM) dari pemerintah. Hasilnya, sebanyak 1.091 poin yang dipertahankan, 68 poin diubah, dan 91 poin dihapus. Selanjutnya, terdapat 131 substansi baru dan 256 poin perubahan redaksional.
Koalisi masyarakat sipil menilai banyak kejanggalan dalam pembahasan RKUHAP. Mereka menganggap pembahasannya serba cepat dan tidak transparan.
LBH Jakarta sendiri mendorong agar prinsip exclusionary rule of evidence dimasukkan dalam Rancangan KUHAP. Prinsip ini melarang penggunaan alat bukti yang diperoleh secara melawan hukum dalam proses peradilan.
“Kalau berkas perkara atau alat bukti diperoleh dengan cara yang tidak sah, itu harus dikecualikan. Ini penting untuk menjamin proses hukum yang adil,” ujar Alif Fauzi.
Alif Fauzi mengajak semua kelompok masyarakat untuk menentang Rancangan KUHAP tersebut. Ia mengatakan demonstrasi kali ini juga terbuka bagi siapa pun. “Kami tidak membatasi siapa pun untuk menyampaikan keresahannya. Kalau tidak ada perubahan progresif dari DPR, aksi-aksi seperti ini sangat mungkin akan terus dilakukan,” kata dia.
Hingga pukul 15.00, aksi damai itu masih berlangsung di depan gedung DPR. Mereka menuntut DPR agar menyerap dan mempertimbangkan seluruh masukan dari masyarakat sipil sebelum pengesahan Rancangan KUHAP.