YAYASAN Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memenuhi undangan dari Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau revisi KUHAP. Rapat dengar pendapat YLBHI dengan Komisi Hukum DPR itu berlangsung pada Senin, 21 Juli 2025.
Dalam rapat tersebut, YLBHI mengajukan sejumlah usulan dan keberatan kepada Komisi Hukum DPR perihal revisi KUHAP.
Tolak Ketentuan TNI sebagai Penyidik Dihapus
Dalam rapat tersebut, YLBHI meminta Komisi III DPR menghapus ketentuan TNI sebagai penyidik di dalam RUU KUHAP. Isnur menilai ketentuan itu bisa berpotensi menghadirkan kembali sistem dwifungsi ABRI. Karena, kata dia, hal itu membuka ruang bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi penyidik pada tindak pidana umum.
“Pelibatan TNI di sini, menurut kami, sebagai penyidik kasus pidana umum potensial menormalisasi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum,” kata Isnur dalam rapat di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, seperti dikutip dari Antara.
Aturan itu tercantum dalam Pasal 7 ayat (5) draf revisi KUHAP. Pada intinya, Polri menjadi penyidik utama yang mengoordinasikan dan mengawasi penyidik dari lembaga lainnya, kecuali penyidik dari kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan TNI Angkatan Laut.
Jika TNI diberi ruang sebagai penyidik, Isnur menilai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) bisa terjadi dalam urusan penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, bahkan terhadap penetapan tersangka.
Berdasarkan proses pembahasan revisi yang dia ikuti, DPR awalnya hanya mencantumkan frasa TNI Angkatan Laut. Namun, dalam versi pemerintah, frasa Angkatan Laut itu dihapuskan dan hanya menjadi TNI.
Dia juga menilai akan ada dualisme penyidikan yang berdampak pada tumpang tindih kewenangan. Isnur menuturkan jangan sampai tidak ada jaminan kepastian hukum dan perlindungan bagi masyarakat. “Jadi, menurut kami, rekomendasinya apa? Ini dihapus saja ketentuan TNI menjadi penyidik,” kata dia.
Anggota Komisi III DPR Hinca Panjaitan memastikan tidak ada semangat membangkitkan dwifungsi ABRI dalam revisi KUHAP. Sebab, kata dia, penyidik TNI yang dimaksud adalah penyidik yang bergerak di sektor kelautan dan perikanan.
Menurut dia, ketentuan itu pun sudah diatur dalam undang-undang lain yang mengatur tentang kejahatan di sektor perikanan. “Dalam KUHAP itu dalam rangka TNI Angkatan Laut yang penyidik perikanan, yang TNI dalam arti keseluruhannya tidak ada di situ,” kata Hinca.
Desak Revisi KUHAP Hapus Polri sebagai Penyidik Utama
YLBHI mendesak agar revisi KUHAP menghapus ketentuan perihal Polri sebagai penyidik utama. Isnur mengungkapkan Polri sebagai penyidik utama tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) draf RUU itu. Menurut dia, ketentuan itu bisa menjadikan Polri sebagai lembaga “superpower”.
“Seharusnya, KUHAP memperkuat pengawasan dan checks and balances ya, bukan menambah kewenangan seperti ini gitu. Karena makin besar kewenangannya, semakin sulit mengawasi oleh kelembagaan,” kata Isnur.
Dia juga menjelaskan, dalam Pasal 7, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di berbagai lembaga negara diawasi dan dikoordinasikan oleh Polri sebagai penyidik utama. Termasuk, kata dia, PPNS juga wajib meminta persetujuan jika melakukan upaya paksa.
Hal itu, kata dia, akan menghambat efektivitas penyidikan berbasis keahlian teknis dan bertentangan dengan prinsip koordinasi fungsional, supervisi penuntut umum, serta pengawasan pengadilan.
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman memastikan pihaknya akan mencermati kembali pasal-pasal yang sudah dibahas dalam revisi KUHAP. Dia mengatakan pembahasan revisi KUHAP itu pun dilakukan secara bertahap, mulai dari rapat tingkat panitia kerja, tim sinkronisasi, tim perumus, hingga nantinya di tingkat Komisi III DPR.
“Masih memungkinkan perubahan substansi, karena bukan hanya Anggota Komisi III DPR yang berwenang, tetapi seluruh Anggota DPR RI,” kata politikus Partai Gerindra itu.
Minta Durasi Penangkapan Maksimal Dua Hari
YLBHI meminta agar penangkapan terduga pelaku tindak pidana hanya boleh dilakukan untuk maksimal dua hari atau 48 jam dalam KUHAP baru. Durasi itu mengacu pada standar HAM internasional.
Isnur mengatakan masa penangkapan untuk semua jenis tindak pidana seharusnya mengacu pada KUHAP, yang saat ini mengatur jangka waktunya hanya satu hari. Sementara itu, standar HAM internasional mengatur masa penangkapan paling lama 48 jam. “Masa penangkapan untuk semua jenis tindak pidana harusnya mengacu pada KUHAP, atau maksimal 48 jam,” kata Isnur.
Dia menuturkan KUHAP semestinya berkiblat pada standar HAM internasional. Menurut dia, ketentuan pembatasan penangkapan telah dirumuskan sebelumnya dalam draf RUU KUHAP versi tahun 2012.
Meski demikian, ketentuan dalam draf RUU KUHAP yang sekarang justru berbeda. Ada klausul yang membuka kemungkinan aparat penegak hukum bisa menahan seseorang selama lebih dari satu hari atau 24 jam. “Penangkapan dilakukan paling lama 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang,” demikian bunyi Pasal 90 draf hasil rapat tim perumusan (timus) dan tim sinkronisasi (timsin) RUU KUHAP pada 11 Juli 2025.
Pasal ini membuka peluang penangkapan bisa menjadi lebih dari satu hari, jika mengacu pada undang-undang lain yang mengaturnya. Misalnya, UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang memungkinkan penangkapan hingga enam hari. Atau UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme, yang membolehkan masa penangkapan hingga 21 hari.
Masa penangkapan yang panjang, menurut Isnur, membuka ruang yang lebih besar terjadinya penyalahgunaan wewenang dan penyiksaan oleh aparat penegak hukum. Apalagi, jika tidak ada pengawasan terhadap penangkapan.
Adapun Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) menentukan masa penangkapan hanya boleh maksimal dua hari atau 48 jam. Indonesia telah meratifikasi kovenan itu lewat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
Minta Ketentuan Soal Bantuan Hukum Diatur Secara Eksplisit
YLBHI juga meminta DPR agar ketentuan soal bantuan hukum diatur dengan jelas dalam revisi KUHAP. Isnur mengatakan aturan tentang bantuan hukum sekarang masih rancu.
Dia berujar revisi KUHAP saat ini menyebutkan beberapa hal mengenai bantuan hukum. Namun hak atas bantuan hukum bagi tersangka, terdakwa, saksi, dan korban, belum dijamin secara eksplisit.
Menurut dia, bantuan hukum yang menjadi tanggung jawab negara dan pendampingan pro bono yang merupakan kewajiban advokat harus dibedakan. “Pengaturan bantuan hukum sebagai tanggung jawab negara dan kewajiban advokat sebagai pro bono, ini pun harus diperjelas,” katanya.
Draf RUU KUHAP mengatur pemberi bantuan hukum hanyalah advokat. Hal ini berbeda dengan aturan dalam UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang mengatur bantuan hukum dapat berasal dari lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum.
Menurut YLBHI, penting agar pelayanan bantuan hukum tidak terbatas pada advokat. Sebab, negara juga memiliki kewajiban memberi bantuan hukum. “Agar dalam pelaksanaannya tidak rancu, kewajiban negara dan kewajiban advokat,” kata Isnur.
Minta DPR Atur Imunitas Advokat
Sementara itu, YLBHI juga meminta DPR mengatur imunitas advokat atau kekebalan pengacara dalam RUU KUHAP. Imunitas ini menjamin agar pengacara tidak bisa dituntut baik secara pidana maupun perdata selama menjalankan tugas profesinya.
Isnur mengatakan, tahun ini, 15 orang pengacara YLBHI dijadikan tersangka. Bahkan pada 2015, dua pengacara mereka terseret kasus hingga tahap persidangan. “Jadi pasal imunitas advokat bagi pengabdi bantuan hukum LBH sangat diperlukan,” tuturnya.
Imunitas advokat telah diatur dalam Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Hak ini juga dijamin dalam Pasal 11 UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
YLBHI, bersama organisasi lain yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, ingin hak tersebut juga diatur dalam KUHAP yang baru. Menurut mereka, advokat harus diberi hak seluas-luasnya dalam membela kepentingan klien dan memberi pendampingan hukum.
Panitia kerja (panja) RUU KUHAP bersama pemerintah sebelumnya telah membahas hak imunitas advokat dalam draf legislasi ini. Hak imunitas termaktub dalam Pasal 140 ayat (2) daftar inventarisasi masalah (DIM) pemerintah untuk revisi KUHAP.
Panja telah bersepakat memasukkan klausul itu dalam draf. “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar pengadilan,” demikian bunyi ketentuan tersebut.