Menurutnya, tingginya kebutuhan sertifikasi dan perizinan dari para pelaku usaha membuat posisi BPOM sangat strategis. Hal ini bisa menimbulkan tekanan dan godaan terhadap integritas pegawai dalam menjalankan tugas pengawasan.
"Kita tahu pelaku usaha menginginkan percepatan perizinan. Semakin tinggi ketergantungan terhadap BPOM, maka semakin besar pula tantangan menjaga integritas. Di tengah gempuran besar ini, kita harus tetap mempertahankan nilai integritas," tambah Taruna Ikrar.
Dia, menambahkan, BPOM mencatat skor 83,98 dalam Survei Penilaian Integritas (SPI) yang dilakukan KPK tahun lalu. Namun, angka ini tidak cukup jika tidak dibarengi dengan implementasi nyata dalam pekerjaan sehari-hari.
"Jangan cederai hati rakyat dengan tindakan yang tidak semestinya. Semakin tinggi integritas kita, maka semakin terpercaya pula izin edar atau label BPOM yang melekat pada produk obat dan makanan," lanjutnya.
Acara ini juga menghadirkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI periode 2015—2019, Agus Rahardjo, sebagai narasumber utama.
Dalam paparannya berjudul "Membudayakan Integritas", Agus menggarisbawahi bahwa akar dari banyak kasus korupsi di Indonesia adalah gratifikasi yang dibiarkan terjadi dan dianggap biasa.
"Gratifikasi itu dekat sekali dengan suap. Kasus korupsi paling banyak di Indonesia adalah suap. Agama juga sudah mengajarkan bahwa diberi sesuatu di luar gaji itu bukan hak kita," ujarnya.