INFO NASIONAL – Ketua Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (PSPUGM) Agus Wahyudi memberikan pandangannya terkait Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP). Hal itu dia sampaikan di hadapan Badan Legislasi DPR dan sejumlah narasumber lainnya di Kompleks Parlemen, Jakarta, baru-baru ini.
“Ada tiga poin yang akan saya sampaikan. Pertama, bagaimana kita memahami masalahnya. Kedua, kami akan mengevaluasi masalah konseptual dalam draft RUU BPIP. Dan ketiga, rekomendasi substansial terhadap kemungkinan RUU yang akan diberikan,” tutur Agus Wahyudi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di lihat dari permasalahannya, mengapa pembentukan Undang-Undang BPIP menjadi kebutuhan mendesak dalam konteks sosial politik Indonesia saat ini. Hal itu menurut Agus dikarenakan payung hukum BPIP sementara ini adalah di level keputusan presiden. “Perlu diketahui juga apa saja substansi pengaturan yang diperlukan dalam RUU BPIP. Ketiga, bagaimana strategi implementasi dan evaluasi pembinaan ideologi dapat dirancang agar efektif dan partisipatif.”
Agus melanjutkan, “Apa yang kita amati sebenarnya ada beberapa hal yang mungkin bisa kita diskusikan dari analisis dan temuan itu,” kata dia. Pertama, lanjut dia, terdapat kekosongan legislasi primer. “BPIP belum memiliki kekuatan hukum di tingkat undang-undang. Padahal sebagai lembaga yang menjalankan fungsi strategis ideologis, keberadaannya harus diatur dengan kepastian hukum agar tidak tergantung pada rezim eksekutif.” Menurut dia, terdapat juga catatan tentang ancaman fragmentasi ideologis.
Kemudian, lanjut Agus Wahyudi, kebutuhan strategi pembinaan multilevel. “Bagaimana orang atau bangsa lain akan menilai orang Indonesia itu seperti apa. Karakter kita sebagai sebuah bangsa. Lalu pentingnya partisipasi masyarakat dan lintas sektoral. Ini juga tantangan,” tutur dia.
Rapat dengar pendapat dengan Baleg DPR membahas penyusunan RUU tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Rabu, 16 Juli 2025. TEMPO/Lourentius EP
Dari hasil diskusi PSPUGM, terdapat persoalan konseptual dalam draft RUU BPIP selama ini yang juga perlu dikaitkan dengan kajian-kajian ideologi kontemporer dan juga studi yang dilakukan oleh banyak sarjana baik asing maupun dalam negeri. PSPUGM pun mengidentifikasi beberapa masalah pokok.
Pertama terdapat tendensi Fondasionalisme tertutup. RUU BPIP yang pernah dibahas atau mungkin narasinya berkembang selama ini terkadang memposisikan Pancasila sebagai doktrin tunggal yang final dan tak tergugat. Ini bertentangan dengan pendekatan Post-fondasionalisme yang menekankan bahwa ideologi seharusnya terbuka terhadap perbedaan tafsir dan perdebatan publik.
Kedua terdapat reduksi ideologi menjadi alat negara. Fungsi ideologi yang seharusnya menjadi hasil dialektik sosial sering menciptakan jarak antara warga dan nilai Pancasila itu sendiri. Ketiga, minimnya mekanisme partisipatif dalam produksi makna ideologi.
“Nah, sering RUU oleh sebuah inisiatif negara tidak secara eksplisit membuka ruang bagi masyarakat sipil, generasi muda, komunitas adat, kelompok marginal untuk ikut serta membentuk dan menafsirkan nilai-nilai Pancasila,” ucap dia.
Keempat, ketiadaan perspektif emansipatoris global baru belum termasuk juga orientasi BPIP selama ini. “Mungkin ya belum memasukkan orientasi Pancasila dalam konteks global seperti perubahan iklim, krisis keadilan sosial global, kolonialisme epistemic.” Dalam hal ini, lanjut Agus, salah satunya membicarakan pasar global, dan lain sebagainya yang membuat Pancasila tampak lokalistik dan ahistoris terhadap tantangan dunia. “Jadi, ini tantangan yang saya kira perlu dihadapi.”
Oleh karena itu, lanjut Agus Wahyudi, rekomendasi substansial terhadap RUU BPIP yaitu yang pertama perlu memikirkan transformasi peran BPIP. “Jadi perubahan arah orientasi BPIP perlu atau harus diposisikan sebagai fasilitator dialog.”
Ideologi nasional kata dia bukan sekadar agen negara untuk pengawasan. BPIP seharusnya mengembangkan forum ideologi publik melibatkan warga dalam produksi makna Pancasila secara deliberatif. Kedua, lanjut dia, pencantuman prinsip dekolonialisasi pengetahuan. “Ini penting. RUU perlu mengakui keberadaan beragam pengetahuan lokal, adat, dan tafsir minoritas terhadap nilai-nilai kebangsaan.”
Pancasila menurut Agus Wahyudi, bukan milik negara semata, dalam hal ini pemerintah, melainkan milik kolektif yang tumbuh dari sejarah dan pengalaman bersama. Bung Karno sejak awal memaknai Pancasila dengan menyebut sebagai sebuah prinsip yang mendasari dari berbagai kerangka undang-undang dan aturan.
“Bung Karno bicara tentang Pancasila sebagai meja statis dan lear dinamis yang kita kenal. Bicara tentang meja statis kita harus menyepakati apa yang menjadi kor inti dasar nilainya. Tetapi Bung Karno juga menyarankan Pancasila sebagai lear dinamis, sebagai bintang penuntun.”
Menurut dia, bahasa politik modern adalah gagasan yang mungkin ditafsirkan sebagai moral progress. “Apa yang dimaksud dengan kemajuan moral? Nah, ini semua menantang tafsir karena kita semua setiap orang, setiap individu selalu menjadi bagian dari kelompok, part of collective. Mengidentifikasi dengan kelompok dan konsepsi kebaikan kita biasanya terbentuk dari perkembangan kita dalam kelompok,” tutur dia.
Agus melanjutkan, “Ini yang saya kira agar Pancasila justru kuat dan relevan. Kita harus menghargai bagaimana kemungkinan nilai-nilai dasar yang dimaksud akan ditafsirkan dan dikembangkan oleh generasi yang akan datang juga. Dan saya kira RUU yang baik adalah yang bisa mengantisipasi tantangan ke depan itu.”
“Nah, indikator evaluasi emansipatoris mungkin juga perlu dipikirkan,” tambah dia. Indikator keberhasilan pembinaan ideologi Pancasila perlu mencakup dimensi kebebasan berpikir, inklusi sosial, solidaritas, lintas identitas, perlawanan terhadap penindasan. Sehingga relasi-relasi kuasa perlu diperhatikan.
“Dukung pembentukan indeks pembinaan ideologi emansipatif. Yang ini konsepnya bisa kita siapkan, jadi berbasis data partisipasi dan narasi warga. Lalu, perluasan ruang ekspresi kritis terhadap Pancasila, kritik terhadap Pancasila, atau praktik pembinaannya tidak boleh dikriminalisasi. Justru RUU BPIP harus menjamin bahwa kebebasan berpikir merupakan bagian dari cinta ideologi,” tutur Agus Wahyudi.
Terakhir, integrasi dimensi global transformatif. RUU perlu dan harus menyertakan pasal tentang penguatan Pancasila dalam diplomasi global sebagai dasar bagi solidaritas transnasional, keadilan iklim, perdamaian dunia. Dan kritik atas kapitalisme predatori Pancasila harus diangkat sebagai kontribusi Indonesia terhadap etika global.
RUU BPIP, kata Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan, harus dirumuskan secara mendalam. Mengingat, BPIP sebagai lembaga negara mengemban tugas cukup berat terkait pembinaan ideologi. Dengan kata lain, dalam melaksanakan tugas, BPIP tak boleh terjebak dalam rutinitas semata. "BPIP harus menghadirkan rutinitas kegiatan secara mantap, tegas, dan lugas,"
Oleh karena itu Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar membuka ruang dialektika. “Agar terserap juga dan sambil menyerap dalam dialektika itu kan juga menyegarkan moralitas dan spiritualitas si penanya atau si tempat bertanya. Itulah gunanya dialog,” kata dia.
Baleg DPR RI sebelumnya memastikan penggodokan RUU BPIP masih berlanjut. RDPU guna menyusun RUU BPIP sudah berlangsung dua tahap dengan satu kali focus group discussion (FGD). "Kami baru mengungkap dari sisi naskah akademik. Kami perbaiki-perbaiki lagi, (karena) ini (terkait) Pancasila," kata Bob.
RDPU dihadiri oleh sejumlah narasumber dan pakar. Terdapat Wakil Kepala BPIP Rima Agristina Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Dossy Iskandar Prasetyo, Guru Besar Filsafat Moral Franz Magnis Suseno, serta Mantan Asisten Teritorial Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Aster Kasad) Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi. Sementara dari pimpinan Baleg, hadir juga Wakil Ketua Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Wakil Ketua Martin Manurung, dan Wakil Ketua Sturman Panjaitan. (*)