Liputan6.com, Jakarta - Selama ini, banyak orang mengira bahwa hemofilia hanya menyerang pria. Penyakit ini dikenal sebagai kelainan darah yang membuat darah sulit membeku. Karena sifat genetiknya, perempuan sering kali dianggap hanya sebagai pembawa gen, bukan penderita.
Namun, fakta terbaru membuktikan bahwa anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Penyakit hemofilia juga dapat dialami oleh perempuan, meskipun kasusnya lebih jarang dan sering tidak terdeteksi.
Salah satu contoh nyata datang dari seorang perempuan remaja berusia 17 tahun, SRS, yang mengalami Von Willebrand Disease (VWD), salah satu bentuk penyakit hemofilia ringan.
Dia sering mengalami mimisan, gusi berdarah, dan lebam tanpa sebab sejak umur 7 tahun. Sayangnya, karena gejalanya ringan, penyakitnya baru terdeteksi setelah bertahun-tahun.
Cerita SRS menunjukkan bahwa perempuan pun dapat menghadapi tantangan yang sama dengan pasien hemofilia lainnya.
SRS harus menjalani pengobatan jangka panjang seperti transfusi darah dan terapi faktor pembekuan. Namun, banyak perempuan lain yang belum seberuntung SRS.
Mereka hidup dalam ketidaktahuan, tanpa diagnosis, dan tanpa menyadari bahwa mereka sebenarnya menderita penyakit hemofilia atau gangguan serupa yang memengaruhi kualitas hidup mereka secara signifikan.
Oleh karena itu, dalam rangka memperingati Hari Hemofilia Sedunia (World Hemophilia Day) 2025, Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) bersama PT Takeda Indonesia mengangkat tema 'Access for All: Women and Girls Bleed Too'.
Tema ini menyuarakan pentingnya kesetaraan akses bagi semua, termasuk perempuan dan anak perempuan yang juga bisa menderita hemofilia atau gangguan perdarahan lainnya.
Kampanye ini menegaskan bahwa penyakit hemofilia bukan hanya persoalan pria.