TEMPO.CO, Jakarta - Setara Institute mengecam penyegelan Masjid Istiqamah milik jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kota Banjar, Jawa Barat oleh pemerintah kota setempat pada Selasa, 10 Juni 2025.
Pilihan editor: Kerusakan Raja Ampat Nyata. Mengapa Bahlil Terus Menyangkal?
Peneliti Setara Institute, Achmad Fanani Rosyidi, mengatakan lembaganya mendesak Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi segera mengatasi penyegelan masjid sebagai bagian dari pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.
“Pelarangan ini jelas merupakan bentuk pelanggaran HAM yang serius dan penting menjadi perhatian bersama,” kata Achmad melalui keterangan tertulisnya pada Rabu, 11 Juni 2025.
Puluhan petugas Satuan Polisi Pamong Praja, Tentara Nasional Indonesia, polisi, dan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, dan Kementerian Agama mendatangi dan menyegel masjid tersebut dengan dalih menjaga kondusivitas warga.
Penyegelan itu merujuk pada Peraturan Wali Kota Banjar No. 10 Tahun 2011 tentang Pembekuan Aktivitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kota Banjar. Aturan itu merupakan kebijakan diskriminatif yang bersumber dari Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011 dan Surat Keputusan Bersama 3 Menteri No. 3 Tahun 2008.
Padahal, Undang-Undang Dasar Pasal 29 menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya. Pada Kamis 5 Juni 2025, tim penanganan bersama 30 orang mendatangi jemaat Ahmadiyah dan meminta mereka mengosongkan masjid. Tim tersebut datang tanpa membawa surat tugas.
Pada Tahun 2014, Masjid Istiqomah juga pernah disegel. Sejak saat itu, jemaat Ahmadiah harus beribadah secara sembunyi-sembunyi di rumah para anggota di tengah tekanan warga dan pemkot. Tidak jauh dari Kota Banjar, sejumlah masjid Ahmadiyah juga disegel dan dihancurkan hingga rata dengan tanah.
Setara Institute mencatat pada 2007-2021 terdapat 588 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terhadap JAI dari total 2.929 peristiwa KBB. Data terbaru menunjukkan pada 2024, terdapat delapan peristiwa KBB terhadap JAI. Jawa Barat merupakan wilayah dengan kasus pelanggaran KBB terbanyak yakni 38 peristiwa pada 2024. Posisi Jabar tidak bergeser dari ranking teratas pada 2023.
Data Setara menunjukkan terjadi kenaikan kasus intoleransi pada 2024 dibanding 2023. Pada 2024 terdapat 260 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, sedangkan pada 2023 sebanyak 217 pelanggaran. Penyebabnya, menurut Achmad, adalah momentum politik atau transisi pemerintahan dari Presiden Joko Widodo ke Prabowo.
“Pemerintahan Prabowo-Gibran sibuk dengan transisi politik dan mengesampingkan berbagai kasus intoleransi di sejumlah daerah,” kata dia.
Tindakan diskriminatif dan pelanggaran KBB itu mengganggu stabilitas sosial politik serta mengganggu akselerasi pembangunan dan perwujudan Asta Cita Presiden Prabowo. Setara mendesak Presiden Prabowo memerintahkan seluruh kementerian menjalankan UUD dan mencabut berbagai peraturan diskriminatif terhadap kelompok minoritas.
Pada Selasa sore, 10 Juni 2025. Pemkot Banjar memasang spanduk yang berisikan larangan aktivitas Ahmadiyah. Sejumlah perempuan terlihat membawa spanduk yang berisikan protes terhadap penyegelan itu dan menangis.
Mubaliq JAI Kota Banjar Abdul Hafidz Bahansubu mengatakan penyegelan itu menunjukkan diskriminasi yang berulang terhadap jemaat Ahmadiyah. Saat Pemkot Banjar menyegel, sejumlah perempuan Ahmadiyah membawa poster yang berisikan protes bahwa mereka hanya ingin salat dan Ahmadiyah menjunjung toleransi beragama. Mereka juga berteriak dan menangis.
Sebelumnya, jemaat Ahmadiyah mendapatkan persekusi dan kekerasan sekelompok orang yang menghancurkan masjid pada 2015. Menurut dia, sebelum menyegel masjid, Ketua Tim Penanganan Jemaat Ahmadiyah Indonesia Kota Banjar Ahmad Fikri bersama puluhan orang dari Pemkot Banjar mendatangi masjid. Dalam kurun waktu sebulan, mereka sering datang tanpa surat dan meminta jemaat Ahmadiyah mengosongkan masjid. “Secara psikologis itu mengganggu kami,” kata Abdul.
Dia mengatakan jemaat Ahmadiyah membangun kembali masjid yang hancur karena serangan sekelompok orang supaya mereka bisa beribadah. Sejak dihancurkan, jemaat Ahmadiyah membangun ruangan kecil di bagian belakang masjid untuk salat dan kegiatan mengaji perempuan dan anak-anak Ahmadiyah. Rehabilitasi masjid itu menggunakan dana patungan jemaat.
Ketua Tim Penanganan Jemaat Ahmadiyah Indonesia Kota Banjar Ahmad Fikri Firdaus membantah Pemkot Banjar menyegel. Ahmad mengatakan tim Pemkot Banjar memasang spanduk itu sesuai perwal. “Tidak boleh ada aktivitas Ahmadiyah sejak Perwal terbit. Kami melihat ada pembangunan masjid,” kata dia.
Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Banjar itu menyatakan jemaat Ahmadiyah mengabaikan perwal karena merehabilitasi masjid. Dia berdalih pemasangan banner berisikan perwal itu bertujuan menjaga kondusivitas masyarakat Kota Banjar.
Sekelompok orang menghancurkan Masjid Ahmadiyah itu pada 2015 dan tinggal puing-puing. Ahmad menyarankan jemaat Ahmadiyah menggunakan masjid di sekitarnya untuk beribadah dan menggunakan jalur hukum melalui gugatan terhadap Perwal.
Pilihan editor: Penjelasan Mendagri Soal Sengketa Empat Pulau antara Aceh dan Sumatara Utara