TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty International Indonesia mengecam keras pelarangan diskusi publik tentang Ahmadiyah di kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado dan tindakan diskriminatif terhadap jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kota Banjar, Jawa Barat. Dua peristiwa intoleransi ini terjadi dalam waktu berdekatan, yaitu pada 2 dan 5 Juni 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pemerintah Kota Banjar kembali menerapkan praktik-praktik otoriter untuk menyikapi hak warga jemaah Ahmadiyah di Tanjungsukur untuk beragama. Ini bukan pertama kalinya otoritas negara menunjukkan sikap intoleran dan diskriminatif terhadap warga Ahmadiyah,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam sebuah rilis pers, Senin, 9 Juni 2025.
Sebelumnya, pada Kamis, 5 Juni 2025, tim penanganan JAI dari pemerintah Kota Banjar mendatangi tempat peribadatan milik JAI di lingkungan Tanjungsukur, Kelurahan Hegarsari, Kecamatan Pataruman, Kota Banjar. Tim tersebut memperingatkan agar tidak ada kegiatan peribadatan di lokasi yang sebelumnya telah disegel. Tim itu juga menyatakan akan kembali pada Selasa, 10 Juni untuk melanjutkan tindakan penertiban, termasuk pemasangan spanduk pelarangan.
Sementara itu pada Senin, 2 Juni 2025, rencana diskusi bedah buku "Menyingkap Tabir Kebenaran Ahmadiyah" karya Samsi Pomalingo di IAIN Manado dibatalkan setelah pihak kampus menerima surat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Manado dan MUI Sulawesi Utara. Surat itu diterima sehari sebelum diskusi digelar dan meminta kegiatan tersebut dibatalkan.
Menurut Usman, tindakan seperti pembubaran kegiatan keagamaan, intimidasi, dan pengusiran terhadap komunitas Ahmadiyah menunjukkan adanya diskriminasi sistemik oleh negara terhadap kelompok minoritas beragama. Ia menilai bahwa kegagalan negara menegakkan hukum secara adil dalam kasus-kasus semacam ini justru menormalkan pelanggaran kebebasan beragama.
“Berulangnya diskriminasi terhadap warga Ahmadiyah tanpa disertai penegakan hukum yang adil seolah menormalkan kegagalan negara dalam melindungi umat beragama,” katanya.
Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu juga menyoroti pelarangan diskusi di IAIN Manado yang seharusnya menjadi ruang aman untuk berpikir kritis dan bebas dari tekanan kelompok luar.
“Sangat disayangkan pelarangan ini dilakukan oleh kampus yang seharusnya menjadi ruang aman untuk berpikir kritis, berdiskusi, dan membangun kesadaran masyarakat,” lanjut Usman.
Diskusi tersebut rencananya digelar oleh Gusdurian Manado, Rumah Moderasi Beragama IAIN Manado, dan Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) Sulawesi Utara.
“Pelarangan bedah buku terkait Ahmadiyah di kampus jelas melanggar hak warga negara untuk berkumpul dan berdiskusi secara damai di lingkungan kampus. Keputusan Rektorat IAIN Manado yang tunduk pada tekanan MUI untuk melarang bedah buku tersebut jelas mencederai kebebasan akademik yang semestinya dijunjung tinggi di kampus sebagai ruang diskusi terbuka dan plural,” tegasnya.
Lebih lanjut, Amnesty mendesak negara mencabut SKB 3 Menteri tahun 2008 yang menurut dia menjadi dasar diskriminasi dan represi terhadap warga Ahmadiyah.
“Negara wajib segera mencabut Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung Tahun 2008 yang menjadi dasar diskriminasi dan represi terhadap warga Ahmadiyah. Negara wajib menentang segala bentuk intoleransi dan diskriminasi atas dasar keyakinan agama atau atas dasar alasan karakteristik manusia yang dilindungi oleh hukum internasional hak asasi manusia,” kata Usman.