
KEPALA Ekonom Permata Bank Josua Pardede menilai rencana Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus kuota impor mesti dilakukan secara hati-hati. Wacana tersebut muncul usai Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memberlakukan tarif impor AS sebesar 32% untuk produk-produk Indonesia.
"Penghapusan kuota impor merupakan pendekatan yang realistis dan strategis jika dieksekusi dengan hati-hati," ujarnya kepada Media Indonesia, Rabu (9/4).
Josua menuturkan deregulasi impor dengan penghapusan kuota dan peraturan teknis (pertek), serta perpindahan pengawasan dari border ke post-border sebagaimana dipaparkan Prabowo dalam acara Sarasehan Ekonomi, Selasa (8/4), dapat mendukung iklim dunia usaha.
Namun demikian, kebijakan ini tetap perlu dilengkapi dengan penguatan sistem. Seperti, penguatan perlindungan industri dalam negeri, monitoring risiko, dan penguatan rantai pasok lokal. Menurut Josua, penghapusan kuota tanpa strategi mitigasi bisa berisiko terhadap industri domestik dan ketahanan sektor-sektor strategis.
"Terlebih jika produk impor bersaing langsung dengan produk lokal dalam sektor yang belum cukup efisien," imbuhnya.
Dalam kerangka hubungan dagang bilateral, rencana penghapusan kuota impor dapat menjadi sinyal positif bagi AS bahwa Indonesia bersedia berkontribusi aktif dalam menyeimbangkan surplus perdagangan yang selama ini menjadi alasan utama tarif balasan AS. Mengingat surplus Indonesia terhadap AS relatif kecil sekitar US$16,8 miliar.
Namun, kata Josua, perlu dicatat bahwa penghapusan kuota impor tidak bisa diterapkan secara seragam untuk semua negara atau komoditas. Dalam konteks AS, rencana penghapusan kuota impor bisa dilihat sebagai gestur diplomatik untuk memitigasi potensi tekanan tarif dan memperkuat posisi Indonesia dalam negosiasi. Tapi terhadap negara-negara lain, terutama mitra dagang besar seperti Tiongkok atau negara yang memiliki posisi dominan dalam pasar bahan baku tertentu, pendekatan ini perlu dipertimbangkan dengan lebih hati-hati.
Dalam jangka menengah, lanjut Josua, fokus pemerintah seharusnya tetap pada hilirisasi industri, optimalisasi ekspor bernilai tambah, dan negosiasi perdagangan berbasis kepentingan nasional, termasuk aksesi Indonesia ke Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Uni Eropa atau EU-CEPA, BRICS dan forum multilateral lainnya.
"Indonesia harus memanfaatkan momen ini untuk bertransisi dari sekadar negara pasar ke pemain rantai nilai global," pungkasnya. (H-3)