Liputan6.com, Jakarta - Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor baru pada awal April 2025, yang langsung menimbulkan gelombang kejut di pasar global, termasuk Indonesia.
Indonesia dikenakan tarif 32%, berdampak signifikan pada berbagai sektor, terutama industri digital.
Terkait hal ini Asosiasi Internet of Things Indonesia (ASIOTI) menyatakan keprihatinan mendalam atas kebijakan tarif impor Donald Trump.
Kebijakan ini dinilai berpotensi menghambat pembangunan infrastruktur digital nasional dan memperlambat laju transformasi digital di seluruh Indonesia.
Ketua Umum ASIOTI, Teguh Prasetya, menyebut kebijakan proteksionis ini tidak hanya memengaruhi pelaku industri, tetapi juga memperlambat pengembangan teknologi seperti IoT, Cloud Computing, Big Data, AI, hingga jaringan 5G yang menjadi tulang punggung transformasi digital Indonesia.
"Jika tidak diantisipasi, kita berisiko mengalami penurunan posisi dalam indeks broadband global yang saat ini sudah berada di bawah rata-rata negara-negara ASEAN," ujar Teguh melalui keterangan resminya, Sabtu (5/4/2025). Data terbaru dari Speedtest Global Index menunjukkan bahwa posisi Indonesia dalam Global Broadband Index untuk kecepatan internet seluler masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia.
Indonesia berada di peringkat 103 dengan kecepatan rata-rata 20,17 Mbps, jauh di bawah Brunei (peringkat 16), Singapura (peringkat 22), Malaysia (peringkat 46), Vietnam (peringkat 52), Thailand (peringkat 54), Laos (peringkat 68), Myanmar (peringkat 75), serta Filipina dan Kamboja (masing-masing peringkat 80 dan 96).
Tanpa penguatan infrastruktur digital, Indonesia akan semakin kesulitan mengejar ketertinggalan dan mewujudkan visi sebagai kekuatan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara.
Indonesia Sangat Bergantung pada Jaringan Konektivitas Luas
Indonesia, dengan lebih dari 210 juta pengguna internet, sangat bergantung pada jaringan konektivitas yang luas dan berkualitas.
Infrastruktur digital seperti jaringan 5G, Fixed Wireless Access (FWA), dan sistem komunikasi satelit memegang peranan krusial dalam mendorong pemerataan ekonomi digital di seluruh wilayah, termasuk daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).
Kebijakan tarif impor ini secara langsung berdampak pada ketersediaan perangkat keras dan komponen teknologi, yang sebagian besar masih bergantung pada rantai pasok global, termasuk dari Amerika Serikat dan mitra-mitra yang terdampak.
Data Kementerian Perdagangan RI menunjukkan bahwa Indonesia mencatatkan surplus perdagangan sebesar USD14,34 miliar pada periode Januari-Desember 2024.
Pada tahun tersebut, mesin dan perlengkapan elektronik menjadi produk ekspor utama Indonesia ke AS, dengan nilai mencapai USD 4,18 miliar.
5 Solusi Strategis dari ASIOTI
Selain itu, tensi geopolitik antara AS dan Tiongkok turut mempersulit akses terhadap teknologi canggih dari kedua belah pihak, padahal sebagian besar solusi digital dan IoT di Indonesia sangat bergantung pada produk dari dua negara tersebut. Hal ini menambah tantangan bagi Indonesia untuk menjaga kestabilan pembangunan teknologi nasional.
ASIOTI tidak merekomendasikan penutupan impor dari Amerika Serikat sebagai solusi, mengingat pentingnya tetap menjaga akses terhadap teknologi global demi mendukung inovasi dan efisiensi nasional.
Sebaliknya, ASIOTI mendorong pendekatan strategis melalui:
- Lokalisasi Produksi Teknologi Kunci
- Diversifikasi Mitra Teknologi Global
- Perlindungan terhadap Proyek Infrastruktur 5G dan Satelit
- Dukungan terhadap Startup dan R&D Teknologi Nasional
- Regulasi Inklusif dan Adaptif terhadap Perkembangan Digital
Teguh Prasetya menambahkan, pemerintah Indonesia harus melihat krisis ini sebagai momentum untuk membangun ketahanan digital nasional.
"Kemandirian bukan berarti isolasi, melainkan kemampuan untuk tetap terhubung dengan dunia sambil memperkuat fondasi teknologi kita sendiri," ia memungkaskan.