REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada mantan menteri perdagangan Tom Lembong dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Pemberian dua hal itu dinilai merupakan upaya Prabowo untuk merangkul lawan politiknya.
Analis komunikasi politik Hendri Satrio menilai, langkah Prabowo mengandung pesan politik untuk merangkul semua pihak, termasuk lawan politiknya, demi membangun Indonesia yang lebih baik. Menurut dia, hal itu dilakukan karena Prabowo ingin semua pihak turut serta dalam pembangunan.
“Prabowo ingin merangkul semua pihak, termasuk yang dulu pernah menjadi lawannya, untuk ikut bersama dia membangun Indonesia menjadi lebih baik,” kata dia melalui keterangannya, Jumat (1/8/2025).
Hensa --sapaan Hendri Satrio-- menilai, langkah itu adalah upaya Prabowo untuk meredam polarisasi politik yang masih terasa pascapemilu. Dengan memilih untuk membebaskan Tom Lembong dan Hasto, Prabowo disebut ingin menegaskan bahwa dia adalah pemimpin untuk semua, bukan hanya kelompok tertentu.
Pemilik lembaga survei politik Kedai Kopi ini menambahkan, Prabowo juga menunjukkan gestur ingin membuka dialog dengan oposisi, terutama PDIP. Mengingat, partai berlambang kepala banteng itu memiliki basis kuat di parlemen dan masyarakat.
“Ini bisa jadi modal politik besar untuk menenangkan situasi politik yang panas, sekaligus membuka komunikasi dengan PDIP dan orang-orang yang berada di sekitar Tom Lembong,” ujar dia.
Meski begitu, keputusan Prabowo untuk memberikan abolisi dan amnesti dinilai tetap memiliki risiko. Pemberian abolisi dan amnesti kepada dua tokoh yang terjerat kasus korupsi berpotensi memicu persepsi bahwa Prabowo mengorbankan komitmen pemberantasan korupsi demi kepentingan politik.
“Meskipun abolisi dan amnesti adalah hak prerogatif presiden, kelompok antikorupsi dan kritis bisa memandang ini sebagai langkah yang melemahkan keadilan,” kata Hensa.
Karena itu, menurut dia, Prabowo perlu memastikan komunikasi publik yang jelas untuk menghindari persepsi negatif tersebut. Pasalnya, keberhasilan pesan politik itu sangat bergantung pada penerimaan publik.
"Jika masyarakat melihat langkah ini sebagai upaya tulus untuk persatuan, Prabowo akan mendapat legitimasi lebih kuat. Namun, jika publik menganggap ini sebagai manuver politik semata, kepercayaan terhadap pemerintahannya bisa tergerus," kata dia.