
Satgas Pangan Polri akan menyita mesin produksi beras PT Food Station Tjipinang Jaya (FS). Penyitaan ini dilakukan setelah tiga bos produsen beras milik Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) itu ditetapkan tersangka.
"Penyidik akan melakukan penyitaan terhadap mesin produksi beras PT FS," kata Kepala Satgas Pangan Polri Brigjen Helfi Assegaf di Mabes Polri, Jakarta Selatan, hari ini.
Kemudian, Satgas Pangan Polri akan memeriksa ahli korporasi untuk memastikan pertanggung jawaban korporasi PT Food Station. Selanjutnya, menetapkan korporasi sebagai tersangka.
"Memohon analisis transaksi keuangan PT FS kepada PPATK," ujar Helfi.
Selain itu, Satgas Pangan Polri akan mempercepat proses penyidikan terhadap tiga produsen beras lainnya. Yaitu Toko Sumber Raya (SY), produsen Jelita; PT SR; dan PT Padi Indonesia Maju Wilmar, selaku produsen Sania.
"Satgas Pangan Polri, menghimbau kepada para tersangka dan pihak-pihak terkait yang lain dalam perkara memproduksi dan memperdagangkan beras premium yang tidak sesuai dengan standar mutu, untuk kooperatif selama menjalani proses penyidikan," ucap Helfi.
Polri disebut berkomitmen untuk terus melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap segala tindak pidana di bidang pangan. Khususnya, atas peredaran beras yang tidak sesuai dengan standar mutu, sebagai tindak lanjut arahan Presiden Prabowo Subianto.
"Untuk menindak tegas para pelaku usaha yang melakukan praktik-praktik curang, yang merugikan konsumen dan melanggar ketentuan yang berlaku guna menjaga stabilitas pangan nasional," pungkas Helfi.
Adapun tiga tersangka yang telah ditetapkan ialah Direktur Utama (Dirut) PT Food Station, KG; Direktur Operasional PT Food Station, RL; dan Kepala Seksi Quality Control PT Food Station, RP. Ketiga tersangka dipanggil untuk diperiksa pekan depan.
Para tersangka dijerat Pasal 62 Jo Pasal 8 ayat (1) huruf a dan f Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU. Dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara dan denda Rp10 miliar. (Yon/P-1)