INFO NASIONAL — TV Tempo menghadirkan film dokumenter yang mengangkat kehidupan masyarakat di sekitar kawasan industri. Kali ini, lewat film berjudul “Ngomi O Obi” atau yang berarti “Kami yang Ada di Obi”, TV Tempo bersama sutradara Arfan Sabran menggambarkan realitas kehidupan masyarakat di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, yang hidup berdampingan dengan perusahaan tambang nikel.
Sebagai bagian dari agenda hilirisasi industri yang dicanangkan pemerintah, Pulau Obi di Maluku Utara kini ditetapkan sebagai salah satu lokasi Proyek Strategis Nasional (PSN). Hal ini mendorong lonjakan aktivitas pertambangan nikel di wilayah tersebut. Perubahan cepat akibat ekspansi industri membuat kehidupan sosial dan lingkungan masyarakat lokal menjadi sorotan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film ini mengangkat bagaimana masyarakat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dan harmoni yang tercipta di antara penduduk setempat yang mampu menggali potensi, serta upaya perusahaan tambang dalam menekan dampak lingkungan.
Sutradara Arfan Sabran dalam diskusi film “Ngomi O Obi” di Auditorium Vokasi Universitas Indonesia, Depok, pada Kamis, 5 Mei 2025. Dok. TEMPO
Film “Ngomi O Obi” digarap oleh Arfan Sabran, sutradara yang dikenal dengan fokusnya pada isu-isu kemanusiaan. Arfan yang sebelumnya sukses meraih Piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI) 2022 lewat film dokumenter “An Island Calling” membuat “Ngomi O Obi” syarat akan narasi human interest. Menyoroti kehidupan warga Pulau Obi yang berdampingan dengan aktivitas pertambangan.
“Karya-karya saya sebenarnya lebih banyak tentang hubungan antarmanusia dan bagaimana mereka hidup, beradaptasi pada satu lingkungan,” kata Arfan dalam diskusi Film “Ngomi O Obi” di Auditorium Vokasi Universitas Indonesia, Depok, pada Kamis, 5 Mei 2025. “Gagasan ini yang saya bawa ke TV Tempo agar kita melihat kehidupan orang-orang di Pulau Obi.”
Dia menjelaskan, kendati dokumenter merupakan karya yang subjektif dan mengandalkan sudut pandang pembuatnya, termasuk soal keberpihakan, kolaborasi dengan TV Tempo membuat film ini kaya akan prinsip jurnalistik, seperti keberimbangan.
Chief Executive Officer (CEO) TV Tempo, Anton Aprianto dalam diskusi film “Ngomi O Obi” di Auditorium Vokasi Universitas Indonesia, Depok, pada Kamis, 5 Mei 2025. Dok. TEMPO
Chief Executive Officer (CEO) TV Tempo, Anton Aprianto mengatakan, film “Ngomi O Obi” merupakan bagian dari komitmen TV Tempo dalam menyampaikan realitas sosial secara objektif dan mendalam lewat produk film dokumenter. “Kami ingin memberikan satu diskursus kepada teman-teman di sini bahwa dalam konteks pertambangan di suatu tempat seperti halnya di Halmahera, kita bisa melihat dampak positif dari sebuah pertambangan dengan menggunakan kacamata dokumenter,” ujarnya.
Melalui film “Ngomi O Obi”, Anton melanjutkan, pihaknya ingin menghadirkan perspektif berbeda tentang industri pertambangn, khususnya dalam hal kontribusinya terhadap kehidupan sosial masyarakat. Menurut dia, selalu ada sisi positif dari sebuah entitas perusahaan, terutama tambang, yang dapat memberikan dampak nyata bagi komunitas. “Kita ingin melihat dan memotret sisi lain. Menunjukkannya kepada publik bahwa ada entitas yang memberikan kontribusi besar pada komunitas,” ucapnya.
Di sisi lain, seorang nelayan yang menjadi tokoh utama dalam film, Ibrahim, memberikan kesaksian mengenai perubahan kehidupan nelayan di Pulau Obi sejak kehadiran perusahaan tambang. Dia mengatakan, sebelum hadirnya perusahaan tambang, ia dan para nelayan lainnya kesulitan menjual hasil tangkapan laut. Sebabnya, peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang melarang kapal ikan dengan ukuran di atas 30 GT (Gross Ton) beroperasi di perairan dalam jarak 0-12 mil dari garis pantai.
Ibrahim menjelaskan, kapal-kapal besar dari Jawa yang biasa membeli tangkapan laut para nelayan kini tak lagi bisa bersandar. Ini membuat para nelayan kebingungan ke mana menjual hasil tangkapan lautnya. Kini, perusahaan tambang membantu para nelayan lewat pendampingan yang baik sehingga hasil tangkapan nelayan di desanya kini diserap oleh pihak katering perusahaan tambang.
“Setelah ada tim mendampingi hasil tangkapan kami diserap supplier. Jadi dengan berjalannya waktu, kita mendapat peluang untuk menjual hasil tangkapan. Hasil tangkapan kami diambil semua. Tidak ada yang ditinggalkan,” katanya. “Kalau hanya saya, mungkin saya tidak akan bisa berbuat apa-apa. Jadi, saya berterima kasih atas pendampingan ini.”
Mahasiswa Universitas Indonesia, Mahen dalam diskusi film “Ngomi O Obi” di Auditorium Vokasi Universitas Indonesia, Depok, pada Kamis, 5 Juni 2025. Dok. TEMPO
Mahasiswa UI, Mahen, menceritakan kesan pertamanya saat menyaksikan film “Ngomi O Obi”. Sebagai penonton, dia melihat film ini membawa sisi netral dan juga perspektif masing-masing tokoh di dalamnya secara seimbang. Baik dari pihak pertambangan ataupun masyarakat sekitar.
Menurut dia, film ini memberikan perspektif baru tentang industri nikel yang kerap dicap merugikan masyarakat. Lewat film dokumenter tersebut, dia melihat upaya perusahaan dalam memperhatikan kesejahteraan masyarakat sekitar. “Ternyata mereka punya hal-hal positif lainnya, seperti membangun jalur irigasi dan membuat masyarakat yang di sekitar sejahtera,” ucapnya. (*)