TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan aktivitas pertambangan nikel di sejumlah pulau di Raja Ampat, Papua Barat Daya perlu dihentikan sementara. Sebab, menurut dia, kegiatan penambangan itu berpotensi mengganggu situs-situs bersejarah yang ada di Raja Ampat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, Fadli menilai aktivitas penambangan itu dapat merusak keindahan alam dan ekosistem yang ada di pulau "Sepenggal Surga" tersebut. Dia mengatakan bakal berdiskusi dengan jajarannya untuk memantau situs-situs bersejarah di Raja Ampat yang berpotensi terancam akibat tambang nikel.
"Kami juga memantau (situs-situs) di beberapa titik, di Sulawesi dan Kalimantan," kata Fadli ditemui usai mengikuti salat Idul Adha di Masjid Istiqlal, Jakarta pada Jumat, 6 Juni 2025.
Dia berujar, di dua pulau itu ada beberapa kegiatan penambangan yang berpotensi mengancam gua-gua purbakala. Fadli mengatakan, gua di Sulawesi dan Kalimantan juga memiliki lukisan zaman kuno yang berumur puluhan ribu tahun.
Dia menyebut, misalnya, Gua Sanggulirang di Kalimantan Timur. Menurut dia, di lokasi itu ada sekitar 2.500 lukisan purbakala yang berumur 40 ribu tahun.
"Di sekitar Gua Sanggulirang itu ada pabrik semen, yang bisa mengancam (situs)," ucapnya.
Kementerian Kebudayaan, kata Fadli, akan membuat kajian terhadap lokasi situs bersejarah dan cagar budaya yang berpotensi terancam akibat kegiatan penambangan. "Terutama yang ada di Kalimantan," ucap politikus Partai Gerindra itu.
Sebelumnya ramai di media sosial seruan untuk menyelamatkan Raja Ampat dari kegiatan penambangan nikel. Hal ini juga mendapat sorotan dari Greenpeace Indonesia.
Organisasi tersebut melaporkan terdapat kegiatan pengerukan nikel di Pulau Gag. Anak usaha PT Antam Tbk yaitu PT Gag Nikel yang menguasai izin di kawasan tersebut. Selain itu Greenpeace juga menemukan aktivitas tambang di Pulau Kawe dan Pulau Manuran.
Ketiga pulau tersebut termasuk kategori pulau kecil. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, kawasan tersebut tak boleh dijadikan area tambang. Analisis Greenpeace menunjukkan aktivitas tambang nikel di ketiga pulau tersebut telah menyebabkan kerusakan lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami.
Dokumentasi di lapangan juga memperlihatkan adanya limpasan tanah yang mengalir ke pesisir sehingga menimbulkan sedimentasi yang membahayakan terumbu karang serta ekosistem laut.
Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Global untuk Indonesia Kiki Taufik memperingatkan jika aktivitas tambang terus dibiarkan meluas, wilayah Raja Ampat akan rusak. Kiki menyebutkan dampak merusak akibat industri nikel sudah terjadi di sejumlah daerah seperti Halmahera, Wawonii, dan Kabaena.
Karena itu, ia khawatir Raja Ampat mengalami hal serupa. Padahal, wilayah ini adalah kawasan geopark global dan destinasi wisata bawah laut terpopuler. "Sekitar 75 persen terumbu karang terbaik dunia berada di Raja Ampat, dan sekarang mulai dirusak," kata Kiki pada Selasa, 3 Juni 2025.
Adapun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menghentikan sementara operasi PT Gag Nikel selaku salah satu pemilik izin usaha pertambangan di Raja Ampat sejak 5 Juni 2025. Penghentian sementara itu dilakukan sampai pemerintah menyelesaikan proses verifikasi di lapangan.
Riri Rahayu berkontribusi dalam penulisan artikel ini